Showing posts with label Mei 1998. Show all posts
Showing posts with label Mei 1998. Show all posts

Tuesday, July 14, 2009

Solo, Kota Bengawan lautan api !
……Mengumpulkan debu Mei 98 di Kota Solo.


Dalam benak saya selama ini, kota Solo…itu mewakili 2 hal. Yang pertama adalah kerajinan batiknya. Hampir bisa dibilang semua produk batik itu bersumber dari Solo, sampai2 baju dan kain batik yang saya beli di Balipun punya label bertuliskan Batik Solo. Hal kedua adalah gambaran kelemah lembutan seorang putri keraton Solo. Kemayu, berbudi halus dan gemulai. Bener kan ya ?

Tapi ternyata Solo bukan kota yang tenang dan selembut putri keratonnya. Terbukti dengan banyaknya konflik internal yang kerap memicu kerusuhan berskala besar kecil dengan berbagai latar belakang alasan, soal pembagian lahan perkebunan, masalah etnis dan agama sampai urusan tendang menendang bola atau trek-trekan/balapan. Ini sudah berlangsung sejak jaman kolonial Belanda dan terus bergejolak sampai jaman reformasi ini, bagaikan kawah gunung aktif yang senantiasa bisa meletus kapan saja.

Menengok balik pada peristiwa tanggal 14 Mei 1998, ketika Ibukota Jakarta menjadi pusat perhatian dunia karena tragedi kemanusiaan tengah berlangsung tanpa usaha pencegahan…….Solo mungil kita juga ikut2an menjadi LAUTAN API.

Kerusuhan Mei 98 yang dianggap warga kota Solo sebagai kerusuhan terburuk ini dampaknya bukan main-main. Dari segi kwantitas, dibandingkan dengan Jakarta (5.723 rumah), jumlah bangunan yang dirusak dan dibakar memang tidak seberapa (348 rumah termasuk salah satunya adalah rumah milik Harmoko) Dibandingkan Jakarta (1.948 kendaraan), jumlah mobil dan motor yang hangus dan hancur memang lebih sedikit (297 mobil dan 570 motor). Dibandingkan Jakarta (1.308 orang) jumlah korban yang meninggal dan luka hanya 8 % yaitu 107 orang.

Tapi……kalau ditubuh Jakarta, kerusuhan Mei 98 hanya membuat luka berdarah di beberapa ruas badan dan menganga selama 3-7 hari. Maka yang terjadi di Solo adalah, serangan di pusat jantung ekonomi yang membuat Solo lumpuh secara keseluruhan 2 bulan lamanya. Dua bulan penuh kesunyian di sepanjang jalan protokol Slamet Riyadi sampai alun2 utara karena ratusan toko, toserba, departemen store, dealer mobil, Bank, hotel, restoran, diskotik, terminal bus, bioskop 21 satu2nya hangus terbakar. Dan masyarakat Solo pun berkabung penuh kepedihan melihat roda ekonomi kota Solo yang dinamis hancur dengan sangat parah dan menyisakan pengangguran kerja, kaburnya investor dan bisnis skala rumah tangga terseok2 untuk bangkit.

Setelah 11 tahun berlalu, saya ga tau apakah warga kota Solo mulai melupakan tragedi Mei 98 ini seperti layaknya orang2 sibuk di Jakarta. Namun kalau menyimak bahwa sudah banyak kerusuhan menimpa warga Solo bertubi-tubi, dari dulu sampai sekarang, besar maupun kecil2an tanpa ada satupun pihak yang serius memperhatikan dampak mentalisme warga maka sekiranya warga Solo juga perlu melakukan Gebrakan Anti Lupa (GAL) Mei 98. Seluruh warga kota Solo harus dengan sadar mau membuka dialog/diskusi horizontal dan vertikal, juga mengusahakan pendidikan bagi warganya guna menanamkan benih2 persatuan antar agama, antar ras, juga persamaan hak asasi manusia di segala lapisan. Dan terakhir dan yang terpenting memperjuangkan bahwasanya citra kota Solo sebagai kota kerusuhan bukanlah label paten yang harus ditelen mentah2 begitu saja. Citra itu harus dan…. bisa dirubah, karena kota Solo adalah salah satu kota sumber kebanggaan Negeri kita ini, yaitu kebudayaan batiknya yang begitu khas mempesona. Dan karena bagaimanapun saya yakin tidak ada satupun masyarakat Solo yang mau kotanya hancur secara perlahan. Tidak ada satupun warga Solo yang sudi melihat puing2 bangunan runtuh (yang tidak mampu dibangun lagi) menjadi hiasan kota tercinta mereka.

Berikut adalah Debu Mei 98 yang saya pungut dari sudut kota Solo…..

Khresna B.S ( tinggal di belakang toko SE, Purwosari )
Saat itu puncak kegundahan mahasiswa Solo untuk segera melengserkan penguasa saat itu. Jam 9 pagi, aksi besar-besaran diadakan di kampus UNS. seperti biasa, aksi yang targetnya adalah turun ke jalan (Bundaran Gladak dan Balaikota) di blok oleh (kalo tidak salah) 2 SSK Dalmas, lengkap dengan water canon, peluru karet (dan tajam), pentungan, perisai, dll. Sedangkan mahasiswa
UNS dan dari beberapa elemen mahasiswa tidak bersenjata apapun. Sekitar jam 11.30 gesekan antara demonstran dengan aparat meledak, yang bermula dari aksi saling dorong mendorong, polisi menembakkan gas air mata, dan randomize shooting ke arah mahasiswa. Kami membalas dengan lemparan paving blok yg tersedia di buleverd UNS. Yah.. hasil sudah bisa ditebak. Beberapa teman, berdarah2 dan bocor dimana2. Aksi akhirnya berhenti setelah kita sepakat tidak turun ke jalan dan akan mengadakan aksi lagi (dan lagi).
Di hari yang sama, di kampus UMS Pabelan, teradapat aksi yang serupa. Sebagian teman yang tidak puas dengan aksi di UNS, ikut gabung ke UMS. Namun karena kurang sigapnya korlap aksi, ternyata selama aksi berlangsung terdapat beberapa penyusup, penunggang, pengamen, anak jalanan, preman, mungkin intel dll yang sengaja membakar massa supaya cepat panas. Aksi berlangsung rusuh. Polisi membabi buta menembakkan peluru karet. (menurut sumber) berawalnya kerusuhan Solo dimulai dari aksi ini. Massa (non-mahasiswa) yang juga ikut dalam aksi tersebut merasa tidak puas, marah, dan tanpa komando yang jelas mulai bergerak ke arah kota. Saat itu aksi di UNS sudah selesai.

Kerusuhan pun dimulai dari saat itu, massa mulai melempar batu ke kaca2 toko dari arah Pabelan ke pusat Kota. Semakin lama massa semakin banyak dan entah dari mana bisa mendapatkan ransum minuman keras (ciu), pil koplo, bom molotov, dll. Massa tidak terkendali, kerusuhan, penjarahan, bakar2an, dll.. dimulai. Tidak ada polisi, tentara yang mencegah. Aksi masih berlangsung sampai sekitar jam 9 malam. Setelah itu, kopassus turun.
Jadi aksi tersebut bukan murni dari mahasiswa, tapi lebih ke massa yang ditunggangi oknum yang tidak jelas asal usulnya.

Saya tinggal di daerah purwosari, belakang toko SE, BCA, BHS yang habis dibakar massa. Daerah saya itu daerah MERAH (kandang banteng). Saat itu saya gak ikut2, cuman ngelus dada, dan berucap astaghfirulllah.. yah, yang namanya sumbu pendek Solo emang benar2 terbukti. Setahun kemudian, aksi bakar2an terjadi lagi kan (saat Megawati gak jadi presiden) yang jadi korban balaikota Surakarta.

Arifin E. ( tinggal di daerah Dlanggu )
Wah sadis, ada kejadian bakar-bakaran, dan yg tidak saya lupakan sampe sekarang ada 'Ayam bakar wong Solo'. Kejadian di Solo hanya dibeberapa titik saja, dan tidak seheboh yg ada diberita dan foto.

Ready T. ( Tinggal di belakang RRI Solo, selatan Stasiun Balapan )
Waktu itu abis kuliah siang sekitar jam 11, aku dan beberapa kawan maen ke rumah temen di kawasan Palur. Di radio kami mendengar demo di UMS makin memanas. Sekitar pukul 5.30 sore pas pulang ternyata Solo dah terbakar. Bis2 bergelimpangan terbakar di sepanjang jalan Ir.Soetami.

Ahmad R. ( tinggal Jl. Muh Yamin, deket Matahari Singosaren )
Yang saya lihat: sejumlah massa menjarah toko2 terutama milik orang keturunan Cina. Hampir semua toko milik orang keturunan dijarah dan dibakar, kecuali untuk beberapa toko yg katanya dapat jaminan dari tokoh masyarakat setempat agak terselamatkan dengan beberapa barang bisa diamankan. Yang jelas yang berbau 'CINA' ludes... Cuman yg tampak 'terorganisir/terencana' untuk mal penjarahan dan pembakarannya. Tidak ada pengamanan yang berarti dari pihak berwajib, yang ada pengamanan yang spontan dan swadaya dari masyarakat di kampung2 masing karena malam mati lampu dan mencekam.

Setyo M. ( tinggal di Solo baru )
Waktu itu aku masih kecil, jadi belum begitu ngerti. But, aku emang juga liat kejadian pasti di Kota Solo ini, aku inget pas diajak papa jalan2 liat kerusuhan (..hehe..jalan2 koq nonton kerusuhan ).Waktu itu Solo emang bener2 ancur dibakar massa, banyak bangunan dibakar kecuali yang bertuliskan ASLI PRIBUMI, entah kenapa kaum non pribumi waktu itu jadi sasaran. Kejadian yang paling aku inget, ada cewek chinese di depan rumahnya, di daerah Pasar Legi dikeroyok rame2 sama sekelompok orang (red-diperkosa), sampai waktu itu aku gak boleh liat sama papa, ditutupin mataku. Teryata setelah aku udah gede, cerita itu benar, banyak cewek chinese yang jadi korban seperti di atas.


‘ Papa Hau ‘ ( arti Papa : Ayah ; arti Hau : Baik )

Disutradarai oleh pemuda belia usia 19 tahun kelahiran Makasar, Yandy Laurens berhasil membawa film pendeknya yang berdurasi 11 menit memenangkan kategori filem pendek favorite pada Psychocinema Festival 2008 yang digelar oleh himpunan mahasiswa psikologi Unika Atmajaya. Ia yang pada saat kerusuhan Mei 98, baru berumur 9 tahun dengan sangat mengagumkan mampu mengeksplor kritik sosial dan menilik segi2 mentalitas kemanusiaan yang tercabik saat tragedi berbau diskriminasi tersebut. Sebuah bukti bahwa generasi muda adalah generasi yang peduli dan tidak mudah melupakan.

Sinopsis
Seorang Ayah, pria keturunan Tionghoa (Ferry Salim) yang berkulit putih hidup bahagia berdua dengan anaknya bernama Putra yang masih kecil dan berkulit gelap. Pada suatu hari sepulang dari kerja, Sang Ayah menemukan anaknya Putra sedang duduk di ruang tamu dengan wajah penuh cat putih. Ketika ditanya, Putra mengungkapkan emosinya dan mempertanyakan mengapa ia berbeda warna kulit dengan Ayahnya.
Sang Ayahpun teringat tentang kejadian 11 tahun yang lalu, dimana ia baru saja melangsungkan pernikahan dan istri barunya (Wulan Guritno) menjadi salah satu korban perkosaan pada kerusuhan Mei 1998. Sehingga lahirlah Putra dan sejak saat itu si Ibu yang terguncang jiwanya harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Putra mengerti dan mereka berpelukan, setelah Sang Ayah menyakinkan bahwa ia menyayangi Putra apa adanya.

Didix J.
Kebetulan saya waktu itu masih smp, ikut liat longmarch dari kampus UMS Mendungan sampai Matahari Singosaren. Sampai akhirnya SOLO chaos.

Bayu W. ( tinggal di Jl. Guruh, dekat STSI )
Saya ingat hari itu hari jumat, tanggalnya lupa, saya habis ngelayat di makam Haji, keluar jalan Slamet Riyadi, dari sebelah barat (UMS) massa sudah tidak terkendali banyak sekali berjalan ke arah timur. Cukup ketakutan waktu itu dan kesulitan mencari jalan pulang ke daerah UNS.Sesampainya massa di Jl/ Slamet Riyadi, mereka mendobrak dealer2 motor dan toko2, entah apa yang mereka lakukan. Lalu saya pulang. Sampai di kost, mulai kelihatan asap2 kebakaran, kabarnya Matahari Singosaren, Beteng, dan SE terbakar. Sebuah bis dilarikan dari terminal dan dibakar di depan UNS di jalan Ir. Sutami. Saya lihat penjarahan sebuah gudang beras dan gula, oleh massa. Sekitar 6-7 truk dikeluarkan dari gudang itu dan dibakar. Dealer Toyota Nasmoco dijebol. Malam listrik mati, jadi situasi mencekam, toko oli di Jl. Ir Sutami dibakar, jadi ledakannya tinggi sekali terlihat dari tempat saya. Hari berikutnya gudang ban di depan UNS di bakar, asap tebal membubung.

Yunita D. ( tinggal di daerah Jagalan, Mesen, deket Pasar Gedhe )
Waktu itu saya tidak berani keluar rumah. Keadaan Solo sangat kacau. Dimana-mana rusak n banyak penjarahan. Saya dan keluarga saya wktu itu berusaha untuk menyembunyikan adik saya yg wajahnya seperti org china, padahal kami bukan keturunan china.

Daryono S.( tingga di Tegalrejo Sondakan, Laweyan )
Kebetulah saya waktu itu di Solo, dan saya ada sedikit ngikuti kerusuhan tersebut, karena saat itu saya di kampus UMS. Dan dari situ nampaknya menurut saya peristiwanya diawali.Militer menembaki dengan peluru hampa dan gas air mata terhadap demonstrasi para mahasiswa Universitas Muhammadiyah dan mahasiswa lain yang berkumpul di gedung satu UMS. Banyak sekali mahasiswa jadi korban, pada saat itu saya termasuk yang menolong beberapa mahasiswa yang terluka, kena gas air mata dan ada yang kena peluru karet. Mungkin menurut saya lho…. dengan adanya tindakan resesif dari militer tersebut yang mengakibatkan para mahasiswa jadi beringas. Tetapi mahasiswa tetap terkonsentrasi di sekitar kampus tidak bisa keluar.Tempat untuk mengevakuasi para mahasiswa yang menjadi korban adalah di kampus I, gedung UMS paling depan, dekat dengan masjid kampus.
Di jalan besar dekat rumah saya ada supermarket SE matahari yang dibakar massa, tapi enggak tau massa dari mana itu ? Tapi yang jelas ada banyak korban disitu yang meninggal terpanggang di dalam gedung terjebak oleh api.

Yan. S ( tinggal di Bibis Luhur kel. Nusukan / Solo bagian utara )
Peristiwa kerusuhan itu yg saya tau berawal dari aksi mahasiswa di depan kampus Univ.Muhamadiyah Surakarta sekitar jam 10 pagi. Menurut teman2 yg waktu itu disana, gak lama datang massa gak dikenal (diangkut truk) ikut gabung, setelah itu muncul beberapa orang (provokator) mengarahkan massa berangkat ke pusat kota. Aksi anarkis dimulai dr Jl Slamet Riyadi, mereka merusak & membakar fasilitas umum, perkantoran, toko, mobil,dll sampe hampir merata keseluruh kota. Yang saya lihat aparat keamanan gak ada tindkan apa2 cuma berjaga-jaga aja. Sampe malam hari suasana mencekam masyarakat Solo gak berani keluar & memang gak boleh keluar rumah oleh aparat. Dan keesokan harinya terjadi aksi penjarahan massal, setelah peristiwa kerusuhan itu perekonomian kota solo lumpuh total, susah cari bahan makanan, mungkin peristiwa itu gak jauh berbeda dgn yg terjadi di Jakarta.

Handy H.( tinggal di daerah dalam Kraton Kasunanan)

Memang kejadian itu diluar dugaan bahwa psikologis orang solo yang adem, toleransi, berubah seketika menjadi seekor singa yang sedang marah dan impact kerusuhannya ternyata paling besar daripada kerusuhan di kota2 lainnya. Bahkan saya pernah bertemu di Semarang dengan salah satu anggota POLRI, dia agak dengan kondisi psikologis orang Solo yang notabene adem ayem kok kalau marah jadi beringas sekali. Namun kalau melihat kondisi di lapangan dari sudut pandang saya, sangat tidak mungkin hal2 seperti ini dimotori oleh orang-orang biasa pastinya orang yg sudah terlatih, karena semua terlihat termanagement yaitu ketika ruko dibakar dan arah kemana massa bergerak.

“A photopgraphic Testimony of the May 1998 Riots in Indonesia"

Pameran foto otentik dari berbagai sumber wartawan photo/photographer ini diprakarsai oleh Bela Kusumah, putra bangsa Indonesia yang terjun sebagai penulis dan jurnalis profesional di Melbourne. Pameran diadakan di gedung Overseas Service Bureau/OSB (sekarang menjadi Australia Volunteers International/AVI) beralamat Brunswick ST, Melbourne–Victoria pada tanggal 12 Desember 1998 bertepatan dengan Hari Kemanusiaan Sedunia sebagai sebuah pesan kemanusiaan atas lembaran hitam tragedi Mei 98 yang terjadi di negeri tercinta ini. Berikut adalah rangkaian karya foto berharga yang dipamerkan sebagai bukti sejarah yang tidak boleh dilupakan.



“ Jakarta 2039: 40 Tahun 9 Bulan Setelah 13-14 Mei 1998 “ ( lihat link )

Ini adalah sebuah cerita bergambar karya Seno Gumira Ajidarma dan Zacky sebagai ilustratornya. Komik yang sarat pesan dan mengiris sanubari ini mencoba mengurai sejuta rasa yang terpendam selama 40 tahun dan 9 bulan ....sehubungan dengan aksi penganiayaan dan pelecehan seksual yang terjadi pada tragedi Mei 98. Rasa sakit, air mata, marah, malu dan rasa bersalah ditampilkan dari berbagai sudut pandang yaitu : Sang Anak (judul bab: Ternyata aku anak hasil pemerkosaan), Sang Ibu (judul bab: Dimanakah kamu anakku ?), Sang Ayah (judul bab: Nak, Ayahmu ini seorang pemerkosa).

Survivor Guilt

Survivor Guilt adalah kondisi kejiwaan yang mempengaruhi seseorang sehingga dia merasa begitu bersalah/bertanggung jawab sehubungan dengan sebuah tragedi penuh trauma yang menimpa keluarga, teman dan karabatnya bahkan orang2 yang tidak dikenalnya, sementara dirinya sendiri berhasil selamat dari tragedi tersebut. Entah itu bencana alam, penyakit atau kekerasan/teroris.

Derajat perasaan bersalah ini bervariasi sekali untuk setiap individu, walaupun tragedi yang dihadapi sama. Ada yang lumrah2 saja dan ada yang ekstrim dan perlu segera ditangani secara serius.

Kasus Survivor Guilt banyak ditemui saat tragedi World Trade Centre 11 September 2001 di New York, dimana ribuan korban meninggal dan puluhan ribu lainnya berhasil selamat, entah dalam keadaan luka atau tidak. Banyak para survivor menjadi sangat sensitif mengenang teman kantor dan karabatnya yang tewas dalam tragedi yang traumatik ini. Banyak yang cenderung punya perasaan jadi orang yang cuek dan tidak pedulian karena tidak menolong orang yg jatuh, merasa bersalah karena lari mendahului wanita hamil besar di tangga darurat, merasa tidak setia karena meninggalkannya temennya jauh di belakang dll. Semua perasaan ini normal walau perlu juga diperhatikan perkembangannya.

Ada yang pernah nonton film “Schindler’s List “ ? Itu salah satu contoh kondisi Survivor Guilt yang ekstrim. Si Schindler yang sudah menghabiskan hidupnya mengabdi dalam perang dengan menyelamatkan ratusan jiwa2 yang sekarat, bukannya menerima dengan bangga dan penuh syukur ketika dihormati dan disalami oleh para korban yang selamat…..malah dia minta maaf karena tidak mampu menyelamatkan lebih banyak orang lagi. Dia merasa sangat bersalah, karena dirinya selamat sementara jutaan orang lainnya mati menghadapi maut. Berikut saya kutip sebuah makalah untuk menjelaskan kenapa sikap Schindler seperti itu.

Guilt following traumatic event, makalah dari Kathleen Nader, D.S.W.

…..A Sense of Responsibiity - Individuals with a sense of responsibility for those around them may be particularly vulnerable to guilt feelings. Among this group are individuals in positions of authority (e.g., administrators, supervisors), positions charged with rescuing or maintaining the well-being of others (e.g., police, firepersons, military), or who habitually feel responsible for others. For some, responsibility for others is defined as part of the job. People often readily relinquish responsibility to these individuals adding to the sense that it is their charge not only to keep things right but to make things right. As a result, members of this group may feel a sense of failure and guilt even when rescue or well-being are impossible.

Terus terang saya jadi bertanya-tanya dalam hati, kenapa tragedi Mei 98 tidak membawa reaksi Survivor Guilt seperti yang dijelaskan diatas yah? Ada apa dengan rakyat Indonesia dan pemerintahnya ? Dimanakah rasa risih, iba, malu dan rasa bersalah itu ?

Sungguh saya tidak mengharapkan bahwa setelah tragedi Mei 98, kita semua jadi ekstrim, patah semangat, dan berkabung sepanjang tahun. Tapi menurut saya sedikit porsi rasa bersalah itu cukup berarti buat arti sebuah kepedulian antar sesama manusia dan bisa membawa arti yang besar untuk memancing rasa patriotik seorang Jendral atas sumpah jabatannya.

Saya jadi berandai-andai……….andaikan saja kondisi ekstrim Survivor Guilt si Schindler bisa ditularkan sedikit kejajaran pemerintah Indonesia. Mungkin saat ini sudah ada yang minta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas terjadinya tragedi hitam Mei 98, mungkin sudah ada yang merasa bersalah dan bersedia bertanggung jawab atasnya. Tapi mimpi siang bolong memang ga pernah jadi kenyataan.

Pesta Pemilu 2009 telah usai. Panggung kampanye dan tontonan iklan sudah tidak ada, acara debat presiden pun sudah selesai (walaupun kalo di negara lain, debat presiden tetep lanjut untuk menilai hasil kinerja kabinetnya). Entah kenapa….saya cukup lega dengan hasil yang sementara dicapai pada pesta Pemilu 09 kemarin. Saya merasa bangsa kita dari Sabang sampai Marauke sudah cukup kritis untuk berdemokrasi, sudah sadar akan politik aman damai, dan sudah cukup bijak untuk menjatuhi pilihan.

Untuk mencapai hal ini, kita sungguh berhutang budi pada banyak pihak. Dan salah satu yang tidak boleh dilupakan adalah kepada sebuah profesi yang kita anggap tidak begitu penting, yaitu para mahasiswa. Mereka memang belum menyumbangkan tenaga dan pikiran mereka di bidang kehidupan nyata, mereka belum jadi dokter, akuntan, manager, hakim, insinyur dan lain2. Bila diibaratkan roti hangat yang keluar dari oven, para mahasiswa ini bagaikan adonan roti yang belum jadi, mereka masih harus diaduk, diulen, diimbuhi , dibentuk dan dibiarkan mengembang secara alami.

Kita sama dengan mahasiswa. Mahasiswa adalah cermin diri kita, karena mayoritas dari kita pernah jadi mahasiswa dan punya gejolak perjuangan yang sama sebagai adonan roti. Mahasiswa juga merupakan penyambung idealisme kita dari tahun ke tahun karena sebagian besar dari kita sudah mulai kehilangan tenaga untuk tetap vokal, tetap berani, dan cenderung kehilangan waktu untuk tetap peduli.

Bedanya adalah….. kita adalah survivor pasif di belakang layar sedangkan beberapa mahasiswa yang berdiri sebagai pagar betis bayang2 kita harus bersentuhan dengan timah panas senjata api para alat negara.

Jadi kalau 4 mahasiswa Trisakti yang belum sempat melihat hasil derap reformasi, yaitu Elang Mulya Lesmana luka tembak di dada, Hafidin Royan luka tembak di kepala, Hendriawan Sie luka tembak di leher dan Hery Hartanto mengalami luka tembak di punggung.

Sebenarnyalah …kita pun sudah jatuh terjerembab dan terluka sangat parah…….

Karena dada mereka adalah dada kita.
Kepala mereka adalah juga kepala kita.
Leher mereka itu mewakili leher kita
Dan punggung mereka adalah jelas punggung kita semua !

Dengan penuh rasa hormat saya ingin mengenang ukiran nama2 mereka, yang telah pergi namun tetap menebarkan harum semerbak semangat perjuangan. Jangan pernah lupakan mereka.


Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk disampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan

Tubuhku terguncang dihempas batu jalanan
Hati tergetar menatap kering rerumputan
Perjalanan ini pun seperti jadi saksi
Gembala kecil menangis sedih ...oooh…

Ini semua baru permulaan. Kita sungguh berharap bahwa Presiden yang terpilih untuk menahkodai negara yang kaya akan sumber alam dan sumber manusia ini, yang kaya akan kebudayaan dan kepulauan ini, yang kaya akan perbedaan dan keaneka ragaman ini……MAMPU melakukan yang terbaik untuk bangsa Indonesia.

Dan yang terpenting, jangan biarkan sekali lagi tragedi kemanusiaan yang tidak lain membuahkan kesengsaraan bagi rakyat terulang di masa yang akan datang. Jangan biarkan jiwa2 pemberani para mahasiswa yang hendak menyuarakan keadilan berjatuhan lagi di ajang bentrokan kekuatan sipil dan militer. Bukan sebuah tugas yang ringan, tapi bukan juga sesuatu hal yang mustahil.


Catatan kecil :

- Terima kasih untuk rekan2 yang telah menyumbangkan debu mei di daerah Solo.
- Terima kasih untuk Bapak Bela Kusumah dan Yandy Laurens untuk sumbangan karyanya.

Saturday, June 13, 2009

Gebrakan Anti Lupa (GAL Mei98)



Gebrakan Anti Lupa (GAL Mei98)
Menggali Jogja Plaza dan merangkai kembali Debu Mei 98.


Gebrakan Anti Lupa Mei 98 ini bersifat individual. Dilakukan masing2 pribadi secara teduh di lingkungan hidupnya.

Biar gampang, saya cuma minta 1 hal saja yang jangan dilupakan. Yaitu bahwa peristiwa Mei 98, dilihat dari sudut pandang siapapun, pribumi atau non pribumi, aliaran agama manapun, negara apapun tetap merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia kelas berat dan bukti kegagalan Pemerintah Indonesia dalam usaha memberi perlindungan kepada seluruh penduduknya terhadap perbuatan semena-mena. Siapakah yang harus bertanggung jawab ?

Dengan GAL Mei 98, sungguh saya berharap banyak insan terbuka mata hatinya untuk kembali peduli akan kemanusiaan, dan peduli untuk mempersiapkan generasi mendatang sebagai Generasi Anti Lupa juga. Dengan gebrakan ini saya yakin rakyak Indonesia akan menjadi lebih pintar dan bijak dalam memilih paket presiden/wapres pada pemilu mendatang. Ini mungkin salah satu cara kita untuk mencegah tragedi kemanusiaan Mei terulang lagi.

Cara lainnya akan saya singgung di bagian akhir tulisan.

Berikut debu spontan yang kembali terangkai....Thank you for Breaking The Silence.

Elvana N. ( tinggal di Jembatan Lima – Jakarta Barat )
Waktu itu saya masih SMP. Pas tanggal2 segitu kita2 lagi Ebtanas, jadi serba salah mau sekolah atau gak. Takut gak lulus kalo gak masuk. Akhirannya kita2 jadi pada sekolah juga untuk ikutin Ebtanas, guru2nya dah pada cuek gitu yg membuat kita2 sangat mudah nyontek. Udah kagak ada yg napsu belajar juga sih. Terus saya pulang deh, dijemput org kepercayaan nyokap (yg mukanya rada2 sangar) naek motor. Ngeri banget, kebetulan saya tinggal di Jembatan Lima. Itu sepanjang Jl. Jembatan Lima habis.

Siswanto L. ( Keluarga tinggal di Tanjung Priok )
Pada waktu kerusuhan May 1998, saya sudah berada di Batam, tetapi keluarga saya masih di Jakarta, tepatnya di Tanjung Priok. Karena kekhawatiran saya melihat keadaan di Jakarta sebelum kerusuhan merebak, maka saya meminta kedua orang tua saya untuk berangkat ke Batam, saya lupa pasti tanggalnya, tetapi yang jelas sebelum kerusuhan besar terjadi.

Apa yang saya takuti ternyata terjadi. Penjarahan rumah-rumah orang yang diketahui cina keturunan terjadi juga. Orang tua saya karena sudah ke Batam, tidak dapat mengikuti keadaan disana, rupanya warga mengumpulkan dana untuk pihak tertentu guna menjaga keamanan, memang tidak terjadi pembunuhan di jalan utama tempat tersebut. Kami mempunyai tetangga yang baik-baik, sehingga dari depan tidak terjadi penjarahan, tetapi rupanya kawanan penjarah ini melakukannya dari belakang rumah sehingga tidak diketahui dari depan.
Boleh dikatakan sisa-sisa harta orang tua saya amblas diambil oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, hanya motor dan televisi yang kemudian dapat diselamatkan oleh abang saya, bayangkan stop kontak dan kabel-kabel yang didalam dindingpun ditarik keluar, entahlah seberapa kejam mereka itu. Ada satu hal yang saya ingat adalah bahwa mereka tidak mengambil buku-buku pelajaran saya yang masih ada dirumah itu. Mungkinkah orang terpelajar tidak akan sembarangan? Mungkin saja, walaupun persentasenya tetap ada yang terpelajar dan juga tidak baik. Ayah saya dapat melewati peristiwa ini dengan tabah, tetapi ibu saya shock.

Dihari tuanya, untuk mengambil obat ke singapura saja cukup kesulitan, karena harus membayar fiskal. Karena infonya NPWP yang sudah tidak aktif tidak dapat dipergunakan lagi. Logikanya bagaimana orang tua saya harus membayar pajak, sementara tokonya sudah habis dijarah? Padahal orang tua saya membayar pajak dari muda hingga tua. Dan penjarahan ini juga sudah dilaporkan kepolisi sehingga diperoleh surat laporan penjarahan. Tapi apa yang dapat pemerintah berikan kepada orang tua kami?

Andri Y. ( kerja di Sudirman, tinggal di Jl. Terate, Angke - Jakarta Barat )
Gua waktu itu kerja di gedung BEJ (Bursa Efek Jakarta). Tanggal 12 Mei 1998 gua denger kalo udah ada ribut-ribut antara mahasiswa dengan polisi di daerah Grogol. Gua ama temen-temen di kantor udah mulai takut karena udah ada issue jalanan udah mulai banyak yang ditutup waktu itu. Jadi, gua ikut mobil temen yang kebetulan tinggal di Mangga Besar. Gua turun di Gajah Mada seberang pom bensin di depan Kemurnian. Gua pulang jam 18.00 lewat Jl.Sudirman trus ke Harmoni dan jalanannya sepi banget. Cuma butuh waktu 10 menit dari SCBD sampe Kemurnian depan pom bensin. Temen gua kayaknya ga nginjek gas sama sekali waktu bawa mobilnya, lampu merah juga kita terjang terus. Yang namanya polisi tuh ga ada dimana-mana, apalagi yang namanya tentara. Dari pom bensin depan Kemurnian, gua jalan kaki masuk Gg. Kemurnian sampe depan Ricci. Orang-orang yang ada dijalanan bisa dihitung sama jari sebelah tangan. Gua terus jalan sampe Toko Tiga, tapi gua ga lanjutin lagi. Tuh yang namanya mobil... ga ada sama sekali di persimpangan Toko Tiga, bener bener sepi kayak kuburan. Akhirnya gua balik lagi trus masuk ke gang yang keluarnya tembus ke Blandongan deket Sekolah Budi Pekerti. Gua terus jalan sampe tembus ke Gg.Ikan. Dari sana gua jalan ke Jembatan Lima nyeberang ke Pasar Mitra. Gw liat ada rumah yang dibakar deket seberang Gg. Pulo Nyamuk. Situasi Jembatan Lima porak poranda. Sepanjang jalan dari Pasar Mitra sampe rumah gua di Jl. Terate, orang yang ada dijalanan bisa dihitung sama jari tangan. Bener-bener sepi banget, melebihi sepinya lebaran.

Tanggal 13 Mei 1998. Gua kayak biasa berangkat ke kantor setelah ikut misa pagi di Toasebio. Gua naik bus dari depan Glodok sampe Komdak. Hari itu keadaan seperti biasa. Jalanan macet, bus penuh sama orang-orang yang mau kerja. Hari itu, kita khusus nyalain radio di kantor supaya tau situasi ter-update yang ada di daerah Grogol. Jam 09.00 pagi kita denger kalo mahasiswa di daerah Grogol udah mulai bergerak dan udah mulai cenderung anarkis. Pom bensin depan Trisakti udah dibakar. Kita-kita yang ada di kantor, kebetulan kantor kita ada dilantai 16 dan punya view ke arah Jakarta Barat dan Utara, bisa ngeliat kalo ada asap tebal di daerah Grogol. Situasi di kantor udah mulai ga enak. Semua yang dikantor udah pada mulai nelponin rumah masing-masing. Jam 09.30 pas jam perdagangan saham di lantai bursa mulai dibuka, kita yang di kantor malah panik telpon kiri kanan nanya situasi yang sebenarnya di daerah Grogol. Akhirnya Bos kasih keputusan, yang rumahnya di daerah Jakarta Barat dan Utara, disuruh pulang saat itu juga. Gua pulang jam 10.00 setelah selesai kerjain kerjaan gua buat shift pagi. Sebelumnya gua juga udah sempet telponin tunangan gua yang kerja di Hotel Daiichi di Segitiga Senen. Dia ga bisa pulang kerumahnya di Tangerang. Gua bilang ama dia kalo ga bisa pulang nginep aja ditempat kerjanya atau pulang ke rumah gua di Angke kalo memungkinkan. Gua pulang naik taksi dari lobby BEJ. Sopir taksinya baik sekali, waktu gua bilang mau pulang ke daerah angke, dia saranin ambil jalan yang bisa ditembus aja. Trus kita coba lewat Slipi. Ternyata.... Jalan ke arah Slipi udah macet-cet total mulai dari depan Hilton. Taksi yang gua naikin masuk tol dalam kota karena jalanannya lengang. Baru sampe depan Manggala Wanabakti, gua liat semua mobil pada balik arah. Ga taunya Slipi Jaya udah mulai dijarah dan sebagian penjarah udah mulai masuk jalan tol buat nyetopin mobil-mobil yang lewat disana. Akhirnya taksi gua juga balik arah dan kita keluar dari tol. Taksi gua balik ke arah Sudirman terus sampai ke Harmoni. Sampe Harmoni, gua ga bisa terus ke arah Gajah Mada karena Glodok udah mulai dijarah. Jadi kita lewat Veteran terus tembus ke belakang Pasar Baru sampe ke Gunung Sahari. Dari situ, taksi mengarah ke Mangga Dua. Tapi sampe depan hotel Sheraton Media, taksi gua kena traffic jam lagi. Semua mobil yang ada di depan gua pada mundur semua. Ga taunya uda ada gerombolan penjarah sekitar 10 meter di depan taksi gua. Ada beberapa mobil yang udah terbalik dan disundut sama api sama penjarah-penjarah tersebut. Sopir taksi gua panik dan bilang kalo dia ga bisa ngelanjutin perjalanan lagi. Jadilah gua turun disana. Pemandangan yang ada di depan mata gua bener-bener bikin dengkul gua gemeteran. Itu yang namanya penjarah bener-bener udah pada gila. Matanya pada merah kayak orang ga pernah tidur. Ada yang ngebalikin mobil, ada yang ngerampok orang yang lagi jalan, ada yang mecahin kaca mobil trus narik orang-orang dari dalam mobil lewat jendela. Yang namanya darah udah ga usah ditanya lagi. Gua jalan kaki musti ati-ati supaya ga nginjek darah di jalanan. Untung tampang cina gw ga gitu keliatan. Jadi gua masih rada aman jalan kaki di daerah sana. Gua jalan dari depan hotel Sheraton Media trus ke arah Pangeran Jayakarta. Di sepanjang jalan banyak yang pidato "BUNUH CIINA" dan "BUNUH ORANG KAFIRr". Suasananya mirip kayak di film G30S PKI. Banyak gerombolan sporadis sepanjang Jl.Pangeran Jayakarta. Gua yang udah ketakutan akhirnya milih masuk-keluar gang kecil. Setiap kali gua mau masuk ke gang yang lain, gua ditanyain ada keperluan apa dan mau kemana. Gua jalan terus, tau-tau udah tembus ke Mangga Besar 1. Dari situ gua liat banyak sekali yang ngejarah Glodok Plaza. Jadi gua ga jalan situ, gua jalan ke Jl.Lada yang ada Hotel Jayakarta. Sampe di Jl.Hayam Wuruk, gua liat banyak sekali orang yang ngejarah lagi bakar-bakarin mobil di bawah jembatan penyeberangan dari Glodok ke Harco. Gw beraniin diri nyeberang ke Gajah Mada trus masuk ke gang disebelah bekas Kedutaan Cina. Dari situ gua jalan dengan rute yang sama kayak kemaren sore. Begitu mau keluar dari Gg. Ikan, gua musti manjat barikade yang dibikin sama orang-orang disekitar situ. Barikade yang dibikin tinggi sekali, sampe-sampe gua musti dibantuin buat naik-turunnya. Situasi Jembatan Lima udah kayak ada pembagian barang gratis. Hampir semua toko udah terbuka dan orang-orang bisa ngambil barang yang mereka mau dengan seenaknya. Gua terus aja jalan kaki lewat Jl.Laksa sampe rumah gua. Yang namanya suasana jangan ditanya lagi. Udah kayak lagi perang. Gua sampe rumah sekitar jam 15.00 dan tunangan gua ternyata udah ada disana juga. Thanks Lord!!!

Malamnya, kita yang cowo-cowo pada ronda sampe pagi. Yang namanya pot bunga dipinggir jalan kita pindahin buat nutup jalan terate supaya ga ada mobil/orang yang bisa lewat. Trus semua lampu di depan rumah disuruh matiin sama RT kita supaya suasana ga terlalu terang. Gua ga kerja sampe 3 hari dan selama itu kita semua gantian ronda. Dan selama 3 hari itu, semua toko sepanjang Jl. Angke dari Jembatan Lima sampe jalan kereta depan Pasar Angke habis dijarah. Kita-kita cuma bisa ngeliat mereka nentengin barang jarahan. Trus banyak juga gerobak-gerobak gede buat ngangkut peralatan elektronik yang mereke jarah dari Glodok. Pokoknya.... Mei 1998 ga bakalan ilang dari otak gua. Hal yang paling terburuk yang gua pernah liat dengan mata gua sendiri

Monique ( tinggal di Pademangan – Jakarta Utara )
13 Mei 98 saya masih kelas 1 di SMU Ricci. Waktu itu hari Rabu. Kita ada extra kulikuler komputer sampe jam 7 malam di gedung baru yg terpisah sendiri di pojok jalan. Karena rumah cukup jauh, saya ke rumah Indah di Blandongan. Sebelum berangkat exkul dia ditelp katanya ada kerusuhan dimana2. Kita malah bingung 'apa itu kerusuhan?' Kita tetep berangkat exkul & dari lantai 3 gedung baru itu kita liiat, ada banyak kebakaran di beberapa empat sekaligus. Beberapa di antaranya pom bensin. Exkul komputer tetep berjalan. Saya pulang naik bajaj tanpa bertemu 1 mobil atau kendaraan lain apapun di sepanjang jalan menuju rumah. Jalanan bener2 kosong. Itulah terakhir ke sekolah di masa kerusuhan. Beberapa teman malah terpaksa menginap di sekolah malam itu krn jalan menuju rumahnya ditutup. Setelah itu kita denger pengumuman libur di radio. Mungkin ada sekitar 1 bulan kita ga jelas di sekolah. Masuk sekolah pun ga ada pelajaran & sepi banget karena teman2 banyak yg keluar negeri. Dari total 30an orang murid, kalo ga salah cuma sekitar 10 orang yang masuk. Ga berasa ya udah 11 tahun. Mudah2an ga terjadi lagi deh.

Antonius GA ( kerja di Muara Karang, tinggal di Kalideres – Cengkareng )
Saya lupa tanggal-tanggal berapa saja saat itu. Pacar saya (sekarang istri) 1 kantor di Muara Karang dan dia semester terakhir di Trisakti dan pulang ke kost di Tawakal (grogol). Sore itu saya sempat antar dia ke kampus setelah usai jam kantor, ternyata hari tersebut adalah penembakan mahasiswa yg menjadi korban. Di depan gerbang Trisaksi sudah dijaga oleh banyak mahasiswa yg melarang masuk ke dalam kampus. Banyak aparat di sekitar dan di fly over grogol dengan senjata lengkap. Dan bunyi letusan terus menerus terdengar, saya menyarankan pacar saya untuk tidak kuliah, karena saya yakin sekali gak mungkin ada kuliah dalam keadaan seperti ini. Akhirnya kami kembali ke kost dan saya pulang ke rumah.

Esoknya keadaan semakin memanas, kantor hanya 1/2 hari. Kami terjebak tidak bisa pulang, karena massa sudah semakin banyak. Para supir kantor juga sebagai checker dan menyarankan untuk tidak pulang dahulu karena jalan tol bandara dan outering road cengkareng sudah penuh dengan massa. Mereka membakar, mencari mangsa keturunan, targetnya 3C (Christian, Chinese, Conglomerat), merampok dan perbuatan anarkis lainnya. Sebagian kawan kantor sudah aman pulang ke rumah, kami terpaksa menginap di rumah anak Boss di Muara Karang, termasuk Bboss kami yg tinggal di Bojong bermalam bersama.

Jam 5 pagi boss pulang dengan sopir ke Bojong dan meminta saya juga segera pulang sekalian antar istri boss, pacar saya terpaksa ikut pulang ke rumah orang tua saya, dengan pertimbangan dari pada pulang ke kost (grogol) yg kelihatannya lebih parah kondisinya.

Pot kembang yg begitu besar bertebaran di jalan outtering road cengkareng. Ruko sepanjang jalan juga hangus terbakar. Masih ada beberapa kerumunan orang di sepanjang jalan menuju Bojong. Saya melihat mayat hangus di jalanan persis di depan Ramayana-Cengkareng dan saya yakin masih banyak lagi mayat2 bergelimpangan di dalam Ramayana yg sudah hangus terbakar.

Sambil berdoa akhirnya kami sampai mengantar istri Boss di Bojong, dan kembali antar kami ke daerah Citra II dan Kalideres. Sampai di rumah sekitar pk. 7 pagi, dan siap2 akan berangkat ke kantor lagi. Untung saja saya cek dulu, ternyata sekitar jam 8 sudah mulai lagi massa (entah dari mana) bergerak di depan jalan peta selatan (depan komplek kalideres permai) depan Hari-Hari Swalayan.

Selang beberapa saat suasana tambah tegang, dan terjadilah pembakaran sampai keesokan harinya. Apotik Dunia Sehat dan ruko2 sekitar sampai Daan Mogot baru dibakar, Hari-Hari Swalayan luput dari pembakaran karena massa diijinkan untuk menjarah.... Memang muak sekali melihatnya. Siang serasa malam, karena awan tertutup asap tebal dari bakaran. Sedang malam terasa siang, karena api yg terang benderang di langit yg gelap.

Kami se komplek berjaga2 tanpa kenal waktu, karena tidak jelas kapan terjadi serangan dari massa.

Viyona ( tinggal di Teluk Gong – Jakarta Utara )
Denger serem, inget2 lagi juga serem, apalagi waktu ngalaminnya. Mungkin bagi yg engga jadi korban secara langsung (kita semua yg tinggal di Jakarta pastinya adalah korban), engga kena kerugian secara material, tapi pasti ada dampak psikologisnya. Kalo sekarang denger demo dikit aja, udah serem sendiri. Apalagi yg jadi korban langsung keluarganya (dijarah, dirampok, dianiaya, dibunuh).. Engga bisa bayangin gimana kesedihannya.
Saya waktu itu lagi di rumah, untung aja koko yg harusnya pergi les, engga pergi les waktu itu. Masi inget banget, lampu2 di rumah dimatiin, dan kita udah siap2 baju dsb. Mlalam tidur di ruang makan semuanya, engga berani untuk mencar2. Dari balkon rumah, kita bisa liat api d depan karena pembakaran bbeberapa motor. Suasananya mencekam.Kejadian itu malah bikin Indo makin terpuruk, impactnya negatif. Semoga engga akan terulang lagi. Amin

Margaretha L ( Tinggal di Pluit– Jakarta Utara)

Saya juga berharap kejadian Mei 98 tidak akan terulang kembali. Pada waktu kejadian saya ingat masih sedang menghadapi ujian nasional terakhir (saya masih kelas SMP). Pada saat itu saya tidak tau ada isu akan terjadi kerusuhanm, kami masuk seperti biasanya. Setelah ujian Mama saya menjemput dan bilang kalo ada kerusuhan... mobil tidak bisa jalan. Saya ingat hampir sebagian teman2 masih terjebak di sekolah, kami melihat asap hitam di langit beberapa kali, Baju2 pelajaran Tata Busana Ibu Maria abis dipakai bahkan teman yang tinggal dekat RICCI meminjamkan pakaiannya karena kami mendengar isu bahwa jika kami memakai seragam akan disuruh telanjang oleh para perusuh tersebut.
Hal yanf paling saya ingat adalah ada seorang ii2 yang histeris berteriak2 di lantai (di depan kantin lama). Ii tersebut adalah penghuni warga dekat sekolah RICCI. Pada saat kejadian ii tersebut sedang tidur siang dan tiba2 dibangunkan dan diberitahu ada kerusuhan, kasihan sekali mendengar ii tersebut berteriak2 karna shock. Teman saya, Devi pada saat itu sedang menelepon keluarganya di rumah dan keluarganya memberitahu bahwa sebaiknya teman saya tidak usah pulang karna perusuh sedang berusaha masuk ke rumahnya.

Suasana pada saat itu panik semuanya. Mama saya mengambil inisiatif agar saya mengamankan diri ke rumah Akung saya di Sunter karna tempat tersebut aman. Akhirnya 1 petugas sapu RICCI (saya lupa namanya) bersedia membantu saya dan mama saya agar dapat sampai di Sunter. Mobil dan motor tidak dapat lewat, akhirnya kami naik ojek sepeda dan akhirnya berjalan kaki mulai dari stasiun Kota karna diberhentikan perusuh. Dimana2 banyak kaca berserakan, bekas mobil terbakar. Saya berjalan bertiga sampai tidak berani melihat apa2 lagi. Para perusuh semuanya duduk2 (mungkin cape abis membakar2) berteriak2 bunuh China bunuh China. Rambut sudah saya turunkan menutupi wajah, untung berhasil lewat...benar2 perlindungan Tuhan...

Perlindungan Tuhan saya dapatkan lagi pada saat saya sudah mencapai daerah Sunter (kaki saya sampai mati rasa, bayangkan berjalan kaki dari stasiun kota sampai Sunter) mungkin karna saking takutnya sampai tidak terasa cape. Pada saat hampir mencapai stasiun kereta tiba2 ada segerombolan perusuh lagi, kami langsung lari sekuat kami mampu, begitu kami melihat stasiun kereta kami segera masuk. Ajaib ! Mereka tiba2 berhenti mengejar dan bubar. Setelah dilihat aman kami melanjutkan perjalanan lagi hingga sampai. Malamnya kami sekeluarga segera mencari tiket pesawat kemana saja...semua full. Untungnya kami dapat tiket menuju Pontianak (tempat kelahiran mama saya) besok malamnya.semua tiket berjumlah 5 langsung kami ambil saat itu juga.

Semoga tidak ada lagi kejadian kerusuhan seperti itu lagi...dimanapun juga.

Juliana S. ( Tinggal di Green Garden – Jakarta Barat )
Dari kantor jam 3 sore waktu mau balik rumah itu gak bisa. Muter2 di jalan2 tikus menghindari massa. Dimana2 jalan di blokir massa, dan gak boleh lewat sebelum mereka lihat bahwa kita itu bukan chinese. Pake helm pun itu dimintain KTP. Kalo ketahuan chinese langsung dikeroyok sampe mati. Karyawan si Frans dulu disuruh naik motor maju duluan di depan mobil gua (untung si frans jemput gua ke kantor pake 2 motor. Dari kantor gua akhirnya kita naik mobil gua yg diparkir di gedung kantor). Stress banget tuh, karena dimana2 tiba2 ada massa muncul, dan kita mesti cepet2 putar balik. Belum lagi asap dimana2. Setelah muter2 gak karuan akhirnya naik tol, dan terdampar di rumah Kiu2 gua di Tanjung Duren, nginap semalam (yg sama sekali gak bisa tidur, karena di depan kompleks nya itu dah mau diserbu juga sama massa).

Besok paginya kita pikir mau coba pulang ke Green Garden. Eh ternyata masih parah. Hero & Top di Green Garden masih dijarah habis2an. Massa pada numpuk di cengkareng dan sekitarnya. Akhirnya gua naik tol lagi, dan nyasar ke bandara & nginap disana selama 2 hari. Tidur di lantai, uang cash minim, gak ada makanan, gak ada air bersih di toilet (air mati sama sekali), gak ada passport, batere HP habis. Pagi2 sekali kita pada antri di depan Mc Donald (waktu denger isue kalo McDonald mau drop makanan). Antri sampe panjaanggg sekali, dan baru sebentar dibuka, makanan dah pada habis diserbu orang.
Belum lagi stress tiap kali lihatin orang2 yg pada berdatangan juga ke bandara dengan kondisi mobil rusak parah (kaca pecah, body babak belur, ban pecah) dan penumpangnya keluar dengan kepala bocor, muka berdarah, tangan berdarah, orang2 nangis2. Mereka ternyata dikejer2 oleh masaa di tol bandara, dan baru akhirnya bisa lepas setelah lempar uang receh ke jalanan. Tapi kita semua jadi ketakutan krn mereka bilang jalan tol itu gak ada yg jaga, dan massa katanya mau nyerbu bandara. Tapi itu mah gak ada apa2nya lah...Kiu2 gua yg 1 lagi, toko nya yg di Glodok Sky habis hangus terbakar. And lebih marah lagi kalo baca / denger cerita orang2 lain yg nasibnya mengenaskan.

Deana ( Tinggal di Tanah Pasir, Jakarta Utara )
Walau sudah lewat 1 dasawarsa, tapi pasti banyak orang tionghoa yang jadi korban, baik yg toko dan rumahnya dijarah, hal ini akan menjadi sebuah noda hitam yang takkan pernah terlupakan. Waktu kerusuhan mei 98 aku masih SMU kelas1, serem banget karena rabu malam apotik di daerah tanah merah milik teman paman sudah disiram minyak tanah dan mau dibakar, teman paman sudah panik nelpon ke rumahku minta pertolongan, kita juga bingung mau nolong apa, kalo pergi kesana kan namanya cari mati juga, untunglah banyak warga2 pribumi disekitar sana berani pasang badan menghalangi massa yg brutal karena mereka juga takut kalo sampai kebakar apotiknya, api bisa menjalar ke rumah warga juga. Harapan saya, semoga kelak takkan ada lagi kerusuhan yang melibatkan rasis pada warga turunan tionghoa lagi, karena negara pun akan dirugikan dan hilangnya kepercayaan warga asing utk berkunjung ke indo dan akhirnya negara indonesia kita hanya akan semakin terpuruk saja.

Waktu itu aku tinggal di tanah pasir dekat banget dengan jalan Gedong panjang. Kalau yg serem di daerah gedong panjang disekitar Apartemen Mitra Bahari, pada kamis siang massa sudah mengepung daerah sana dan dari rumah bisa terdengar suara massa dan lemparan batu....serem deh

A. Sujarmin W ( tinggal di Bidara,Jembatan Dua - Jakarta Utara)
Pada tgl 12 Mei 1998 siang, saya sudah melihat tanda-tanda mulai bentrok di depan Trisakti and Unika Atmajaya. Waktu itu masih kerja di Kramat Raya. Sempat naik mobil lewat di depan Unika Atmajaya, Sudirman. Mahasiswa sudah mulai "gerah" dan suasana jadi tegang. Mobil-mobil yang lewat juga tersendat. Banyak polisi dan tentara blokade jalan Sudirman. Agak sore udah balik ke kantor dan sudah ada berita keributan di depan Trisakti. Para karyawan disuruh pulang. Waktu sekitar jam 4.30 lebih. Jalan pulang juga udah sepi, karena banyak toko tutup dan pegawai pada pulang.

Dalam perjalanan pulang sempat lewat depan Harmoni dan Gajah Mada Plaza, sudah ada banyak tentara yang turun dari truk dan siap-siap. Terus di sekitar jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk juga lengang, cuma beberapa mobil yang meluncur cepat. Lalu belok kiri naik ke jembatan layang Asemka, tadinya mau lewat jalan Angke dan terus ke Jembatan Dua. Ternyata jalan dipersimpangan Angke dan Jemabatan Lima sudah ditutup polisi dan kelihatan dari jauh ada banyak orang yang berkeliaran dijalan.

Gak bisa lewat, jadi putar balik lagi. Lalu menuju ke arah Jalan Kopi, maunya terus ke Bandengan, tapi jalan juga ditutup warga dan orang-orang berpakaian hansip. Gak jelas ada apa didepan, udah panik, karena merasa terkurung dan seakan ada sesuatu yang besar yang akan terjadi. Jalan sudah sepi dan mulai gelap, karena ada sejumlah lampu jalan gak nyala. Lampu-lampu toko disepanjang jalan juga mati.

Akhirnya cari jalan ke Pasar Ikan, putar ke Pluit lalu lewat Jembatan Tiga. Belok ke arah Teluk Gong, tiba-tiba didepan sudah ada beberapa ABG, cowok semua yang berdiri di tengah jalan. Tidak jelas umur berapa karena cuma terlihat dengan sinar lampu mobil. Gua melambatkan mobil, supaya gak nabrak. Ada satu anak kelihatannya sekitar umur 15 - 16 tahun mencoba menghalangi mobil. Gua banting setir ke kiri sedikit untuk hindari, padahal kalau mau tinggal tabrak aja. Tapi gua mau hindari masalah aja.

Tiba-tiba terlihat sekilas bayangan ada orang lempar batu dari sisi kanan jalan. Batu itu menerobos dari kaca jendela mobil bagian kanan tengah (mobil Espass, ada tiga bagian jendela). Kaget juga karena bunyinya keras. Gua tancap gas, gak perduli lagi ada orang atau gak. Sampai di depan jembatan, belok kiri, menyusuri pinggir kali. Akhirnya sampai di rumah dengan lubang di kaca mobil. Waktu gua cek, ternyata batunya menerobos keluar dari kaca kiri tengah. Jadi lubangnya dua. Kaget juga, karena lemparannya keras juga, kalau kena kepala pasti parah.

Dirumah, langsung cari channel berita di TV, hampir semua stasiun TV menyiarkan keributan di sekitar Sudirman, depan Unika Atmajaya dan Trisakti. Yang paling jelas di sekitar Sudirman, tentara menembaki dengan gencar ke dalam Universitas Atmajaya. Malam itu suasana mencekam, karena masih belum jelas apa yang terjadi. Stasiun radio juga fokus di sekitar depan kedua kampus tersebut dan juga berita tentang lalu lintas yang agak kacau. Malam itu cuma tidur sebentar.

Tanggal 13 Mei pagi, sekitar jam 7, di radio terdengar berita ada massa yang bergerak di berbagai tempat. Yang paling jelas di jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk, Angke, Jemabatan Lima, Harmoni, Tomang, Pluit, Jembatan Tiga, Bandengan, Cengkareng, Grogol, dstnya. Sepertinya orang-orang keluar dari pemukiman/perkampungan disekitarnya. Mulai dengan bakar ban bekas di tengah jalan, kemudian menurut siaran radio, orang-orang mulai meringsek kedalam toko-toko yang tutup, bakar mobil, bongkar ATM, and penjarahan dimulai.

Gua ikutin berita di TV dan radio terus menerus, sambil keluar kedepan rumah bersama-sama warga sekitar jaga-jaga. Ada massa yang berlari kesana-kemari, yang paling jelas ada yang menuju ke arah Pluit. Agak siang terlihat banyak titik asap kebakaran muncul, gua bisa lihat dari lantai tiga rumah. Terdengar jelas orang-orang yang bersorak dan teriak-teriak ketika ada titik api yang muncul. Di TV terlihat jelas orang-orang yang menjarah toko dimana-mana, waktu itu belum ada berita perkosaan dan pembunuhan. Hanya ada berita tentang orang yang terjebak api di dalam ruko yang dibakar. Kerusuhan berlangsung tiga hari dan meluas terus. Terlihat jelas di liputan TV, orang-orang seperti dirasuki setan, menjarah apa saja. Ada nenek-nenek yang gotong-gotong spring bed ukuran besar, ada anak dan bapak yang bawa-bawa TV besar, ibu-ibu yang tenteng-tenteng kotak penuh barang.

Tanggal 17 Mei, setelah reda, gau sempat keluar ke jalan untuk lihat-lihat kondisi. Disana-sini bangunan hangus, mobil tinggal kerangka hangus sementara sejumlah orang asyik pretelin sisa-sisa bangkai mobil, ada juga yang bawa gerobak besar dengan bangkai sepeda motor diatasnya. Rasanya seperti di medan perang.

Kelanjutannya pasti semua udah tahu, Soeharto turun, manuver di dalam ABRI, dstnya ..... tetapi muncul lagi kejadian tragis dan mencekam berbulan-bulan setelah kerusuhan. Berita tentang perkosaan muncul, korban pembunuhan khususnya orang Cina mulai dibicarakan. Ada bantahan keras dari pemerintah tentang korban perkosaan. Muncul para sukarelawan yang mendampingi korban kerusuhan. Para korban tidak hanya orang-orang Cina, tetapi juga dari berbagai latar belakang suku, banyak yang terjebak di Mall - Mall yang terbakar atau dibakar. Orang-orang hilang diberitakan. Simpang siur.

Sempat ada sejumlah relawan yang aktif mencari-cari apa yang terjadi dan mengumpulkan kesaksian, tetapi tiba-tiba muncul kejadian tragis, seorang relawan bernama Ita dibunuh, dan keluarganya diteror. Bahkan ada seorang psikolog kondang yang bicara di hadapan pers menuduh Ita mempunyai latar belakang yang gelap. Sejak kematian Ita yang menyeramkann aktivitas para relawan sepertinya mulai menurun. Namun, cerita-cerita tentang perkosaan masih saja beredar. Ada teman sekantor gua yang juga ikutan jadi relawan, dan menurut dia ada beberapa telpon anonim yang mengamcam akan membunuh dia kalau tidak stop jadi relawan.Sekarang setelah 11 tahun lewat....tidak ada kejelasan siapa yang terlibat dalam kerusuhan Mei 1998. Bahkan ada beberapa nama yang dulunya disebut-sebut terlibat, sekarang muncul jadi capres-cawapres 2009. Ironis.
ASYLUM

Kita tahu pada tragedi Mei 98, banyak warga negara Indonesia (khususnya keturunan) terbang ke luar negeri dan tidak berniat kembali, karena rasa ketakutan yang sudah tidak bisa ditolerir serta hilangnya rasa kepercayaan kepada pemerintah Indonesia. Dengan menggunakan ‘Right of Asylum’, ribuan keluarga mendarat dan menetap di Amerika (lihat link), Australia (lihat link) dan beberapa negara lainnya.

Di jurnal ini, saya belum mendapatkan debu testimoni salah satu dari mereka. Namun ada kutipan yang bisa kita teliti sbb : ( sumber : Inside Indonesia, lihat link )

Ten years after winning his asylum interview, Victor Liem (not his real name) is now a permanent resident of the US and one step away from becoming a US citizen. Despite the improved situation for ethnic Chinese in Indonesia, Liem – who has built and runs his own business in Silicon Valley – and his wife still feel nervous about returning. In the 1990s Liem was a hopeful businessman in Jakarta. He was a London School of Engineering graduate and owned two companies in West Jakarta. On 14 May 1998, driving home along the Kebon Jeruk highway, Liem was confronted by an angry mob attacking motorists with rocks, wooden bats and metal bars. The thugs were checking motorists’ identity cards. He saw light skin-coloured men being dragged from their cars and beaten. Liem made the decision to drive at high speed through the makeshift blockage rather than risk being stopped. He finally reached Serpong Gate and was saved by locals who secured the area. His car was severely damaged by rocks. There were serious cuts on his face and hands. He then realised that a long sharp metal bar, which had broken the windscreen, had fallen just next to his stomach.

Liem and his family got the first available flight out of Indonesia. They landed in the United States in June 1998. The whole family applied for political asylum, and their application was approved soon after. Today there are at least 7000 Chinese Indonesians - former asylum seekers - living in United States.

Kampung Kenangan Mei ( KKM), apakah itu ?

Untuk menjawab apakah KKM, saya ingin mengajak semua kembali ke peristiwa yang terjadi 11 tahun yang lalu.
Di salah satu sudut lain Jakarta, sebuah kampung bernama Jati Selatan terletak di bilangan Jatinegara–Klender, Jakarta Timur adalah salah satu kampung padat penduduk karena memiliki ratusan kepala keluarga di dalamnya. Aktivitas warga kampung yang beragam hidup dengan damai disana walau kehidupan mereka cukup sederhana. Anak2 usia sekolah diusahakan mengecap bangku pendidikan sekolah. Dan para Ibu Rumah Tangga berperan sangat prima agar keharmonisan antar warga terjaga.

Tak jauh dari kampung ini, sebuah Mal berlantai 2 berdiri dengan megah, namanya Jogja Plaza. Fasilitasnya cukup lengkap, ada Departemen Store, sejumlah toko besar dan kecil serta tempat makan. Keberadaan Plaza ini begitu akrab bagi warga dan merupakan salah satu tempat hiburan yang dituju oleh seluruh warga kampung Jati Selatan dan sekitarnya, yang hendak menghabiskan waktu luang akhir pekan untuk sekedar rekreasi dan berbelanja.

Tapi, kedamaian itu lenyap terampas pada peristiwa Mei 98. Beberapa warga kampung terlihat begitu bersemangat dan sibuk hilir mudik. Sepertinya ada sesuatu hal yang tidak biasa terjadi. Dan benar, Mal kebanggaan mereka dirusak dan sepertinya semua orang diberi kesempatan masuk dan mengambil barang yang ada…. sebebas-bebasnya.

Sementara berita dari mulut ke mulut telah membawa warga tua muda berbondong-bondong melongok ke Mal. Beberapa warga yang peka, menjadi khawatir akan hal ini dan ternyata kekhawatiran mereka beralasan. Karena menit selanjutnya adalah Mal tersebut terbakar hebat, dan orang2 menjerit histeris terjebak di dalamnya. Mereka semua tersentak, apakah yang terjadi ?


Berikut adalah kutipan wawancara Romo Sandy mengenai apa yang sepertinya terjadi ( sumber : Indonesia Media Online )

Memang mereka adalah kelompok miskin misalnya kelompok yang tinggal di belakang Jogja Plaza di Klender. Sebelum itu mereka dipancing agar muncul dijalanan dengan membakar mobil-mobil dijalanan. "Sekarang saatnya merebut kembali hak kalian."
Para provokator atau aparat keamanan itu mengambil terlebih dahulu barang-barang seperti TV, kulkas dsb-nya lalu meletakkan didepan toko dan meminta mereka mengambil sambil mengatakan, "Ayo kita ambil, ini hak kalian”

Tetapi ketika mereka masuk ke Plaza dan naik keatas, rolling door ditutup, tabung-tabung gas dikumpulkan dan ditembak sehingga menimbulkan ledakan besar dan kebakaran. Banyak saksi mata, ada ratusan, melihat waktu mereka naik keatas sudah ada yang menyiram bahan bakar dari gedung yang paling atas. Aparat keamanan turun kebawah dan menutup rolling door dan menyiram bahan bakar yang ada dari bahan kimia karena tembok Jogja Plaza yang begitu tebal bisa terbakar habis.

Waktu itu di Jakarta banyak wartawan asing karena adanya sidang AFTA sehingga diekspos juga, seorang wartawan perang yang pernah bertugas di Kosovo berkomentar "Belum pernah saya menyaksikan tragedi yang sedemikian mengerikan karena tubuh-tubuh manusia dipanggang sedemikian rupa."

Dan atas kejadian luar biasa diatas, yang ternyata terjadi juga di beberapa Mal dengan skenario senada, ada komentar sbb :

Pangdam Jaya Sjafrie Syamsudin dan Gubernur Sutiyoso mengatakan pelaku-pelaku kerusuhan Mei adalah masyarakat miskin urban yang melakukan tindakan penjarahan dan pemerkosaan terhadap kelompok masyarakat Tionghoa. Para pelaku itu berjumlah 300 orang dan telah mati karena terjebak dalam kebakaran yang terjadi, karena para pelaku kejahatan telah meninggal dunia maka ....tidak perlu diinvestigasi lagi.

Ibu Kus adalah ibu dari Alm.Mis, Ibu Hamidah adalah ibunda Alm.Ahmad Jainudin (14) dan Ibu Ruminah adalah ibunda dari Alm.Gunawan. Mereka adalah para ibu kandung dari anak2 polos yang ikut2an masuk ke Jogja Plaza dan tak pernah kembali pulang ke rumah. Juga ada, Ibu Sumarsih ibunda Alm.BR.Norma Irawan (wawan) dan Ibu Riarti Darwin, ibunda Alm.Eten Karyana, anak mereka adalah mahasiswa fakultas Inggris yang terjebak di Jogja Plaza Klender ketika hendak menolong seorang anak kecil yang terperangkap api.
Selain mereka, terbilang total 426 warga kampung Jati Selatan menjadi korban amukan api di dalam Mal tersebut. Ada Ibu penjual beras yang belum sempat tutup toko, ada pemilik toko yang tidak bisa keluar terjebak massa, ada Ibu yang sedang mondar mandir mencari anaknya, ada kakak yang kehilangan adiknya, dan juga ratusan warga yang berhasil terbujuk/terprovokasi untuk menggunakan kesempatan mengambil barang.

Dituduh sebagai penjarah dan kriminal dalam tragedi kerusuhan Mei 98, air mata warga kampung yang kehilangan suami, istri, adik, kakak, anak, sodara dan teman sudah habis terurai dan luka batin mereka selalu berdarah, mengingat kejadian ini.

Tahun 2008 Ibu Ruminah mencetuskan ide untuk membuat Kampung Jati menjadi Kampung Kenangan Mei dan di lokasi tersebut juga dibangun Prasasti Jarum Mei. Tujuannya tak lain untuk menjadikan kampung ini sebagai peringatan penting tragedi Kemanusian Mei 98 dimana semua manusia sebagai satu bangsa hendaknya belajar untuk tidak sekali lagi membiarkan tragedi yang sama berulang di tanah air tercinta. Ini akan menjadi sebuah teguran sepanjang abad juga untuk pemerintah negara Indonesia yang sangat dipertanyakan dalam keseriusannya bersikap menanggapi penegakkan hukum/keadilan seputar peristiwa Mei 98.


11 Tahun setelah kerusuhan Mei, opini oleh Maesy Angelina dan Ricky Gunawan.
(Sumber : Jakarta Post, lihat link)

……….While civil society has tirelessly urged the state to fulfil its obligations, it is essential public amnesia of the tragedy is actively prevented. Campaigns against amnesia on the issue are of the utmost importance. The fact that alleged perpetrators even gained significant support in this year’s legislative election show that the public is either uninformed or does not care enough to ensure that those responsible are held accountable.

Initiative such as the annual candlelight vigils or the weekly Silent Thursday (Kamisan), which are relentlessly attended by the families of the victims, are good examples of what have been done. But more importantly, advocacy for the inclusion of the May 1998 tragedy into the national educational curriculum is urgently needed to raise the awareness among younger generations.

We hope that voters do not to vote for alleged perpetrators who are running in the forthcoming presidential election. Casting your vote for such candidates would send a message to the state that the public does not consider the trial of alleged human rights violators important. Aside from condoning impunity, this also poses the threat of having human rights violation reoccurring in the future.

We consider this piece not mere opinion, but a principal message worthy of being spread by any means possible to as many people as possible. Those who survived, witnessed and remember the tragedy bear the responsibility to say never again – or nunca mas, as the Argentinians say.


We shall not forget, we shall not forgive — until justice is achieved.

PENDIDIKAN dan DIALOG

Kita semua adalah survivor. 1001 rasa sudah kita pendam sebelas tahun lamanya. Ada rasa marah, gelisah, sedih, takut, benci, trauma, tidak terima, cemas, kehilangan, dendam, malu, terkucil, bingung, curiga, berprasangka, kehilangan rasa percaya diri, menjadi tidak peka, apatis, merasa berdosa, menyalahkan diri sendiri dan lain-lain....

Seperti yang saya percayai bahwa semua ‘RASA’ bersifat netral. Tidak bernilai. ‘TINDAKAN’ yang dilakukan berdasarkan rasa itulah yang bisa dinilai sebagai suatu tindakan positif atau tindakan negatif.

Tapi semua rasa tersebut diatas perlu penampungan, penyaluran dan sangat penting untuk diarahkan. Bagaimana caranya ?

Pendidikan dan juga Dialog/Diskusi. Ya, itulah yang saya sebut cara lain yang harus sekarang juga kita lakukan agar tragedi Mei 98 tidak terulang di masa mendatang.

Hanya pendidikan terarah dan dialog terbuka yang bisa menjadi ladang, tempat semua rasa itu tumbuh dalam sikap positif dan membuahkan tindakan positif.

" Pendidikan itu suci. Ia memiliki kuasa sakramental dalam rahimnya.Ia mampu menyentuh sisi terdalam kehidupan manusia dan mentransformasikannya. Dosa terbesar dari institusi pendidikan adalah mengaborsi kesucian dari rahim pendidikan." (Romo Mutiara Andalas SJ, BASIS No:07-08/56/2007)

Saya sungguh menaruh kekaguman atas ketulusan dan kerja keras para sukarelawan pejuang HAM yang terjun ke lapangan untuk menjembatani rasa ini lintas golongan dan ras. Salah satunya diantaranya yaitu Forum Keluarga Korban Mei 1998 ( FKKM 98) yang menjadi wadah keluarga korban untuk saling berinteraksi dan mendapatkan dukungan moral. Juga Forum ini memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada warga KKM dan para keluarga korban lainnya untuk dengan penuh kesadaran belajar melawan buta huruf, mereka belajar mengerti tentang pentingnya menghilangkan prasangka rasial, memperjuangkan kesetaraan gender, mempelajari hak dan kewajiban dalam hukum dan yang terpenting mempelajari nilai-nilai Hak Asasi Manusia.

Juga ada beberapa grup kemanusiaan yang berinisiatif mengadakan dialog/diskusi terbuka untuk siapa saja mengenai aja saja (sejarah-budaya bangsa, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Politik-Hukum dan HAM), dengan mengutamakan mahasiswa sebagai generasi muda penerus bangsa. Mari kita dukung mereka, karena besar harapan kita bahwa gerakan pendidikan dan dialog terbuka seyogyakan akan melahirkan buih-buih persatuan Ibu Pertiwi, sehingga perbedaan tidak lagi memberi ruang untuk politik adu domba.

Kita ini sama sama makan nasi,
Kita sama sama manusia.
Kita sama sama punya hak asasi untuk hidup dengan rasa aman,
Dan kita tidak bisa hidup sendirian.

Catatan kecil :

- Terima kasih untuk rekan yang telah memberikan debu mei 98.
- Terima kasih untuk Ibu Ester Jusuf ( Solidaritas Nusa Bangsa) dan Bapak Beni Bevly ( Overseas Think Tank of Indonesia ) untuk informasi yang diberikan.





Monday, May 4, 2009

Mengenang Secara Khusus.... Rosson Kusnadi. Alm
Dalam salah satu wawancaranya, Romo Sandyawan aktivis Tim Relawan Kemanusiaan dan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Mei 1998 menyesalkan tabiat bangsa ini yang dengan begitu mudahnya melupakan kejadian-kejadian pahit masa lalu.

“ Jujur saja…saya sangat sedih melihat memori bangsa ini yg begitu pendek. Bahkan saya ingat ketika terjadi pembantaian massal pada saat tragedi Mei itu, kami masih sedang mengurus korban2 yang hangus di RSCM masih banyak, dan itu televisi dalam negri maupun asing memuat itu, dan itu diexpos di majalah, koran international.
3 hari sesudah itu, Indonesia ini …jakarta berjalan seperti tidak ada apa apa. Orang mulai ketawa2 lagi naik kendaraan umum….’hidup harus berlanjut terus katanya’. Tetapi kalo pelanggaran HAM ini tidak diurus, orang akan berpikir berarti di masa depan dengan mudah akan terjadi lagi karena........ “


Komentar Romo Sandy diatas menggugah saya. Apa bener sih waktu itu, 11 tahun yang lalu kita ini segitu gampangnya lupa ? 3 hari ?
That was.....quick !

Coba deh sekarang inget-inget……
• Kapan yah kita mulai berani keluar dari rumah?
• Yang masih kuliah, kapan sih kalian mulai balik ke kampus Trisakti atau Untar ?
• Yang gawe, kapan coba kita kembali ngantor di daerah Slipi-Semanggi? Gajah Mada-Hayam Wuruk ? (Terus terang saya ga ingat)
• Coba inget kapan kalian mulai berbisnis dan buka toko lagi di Tanah Abang or ITC?
• Mulai berani naik mobil atau angkot melintasi persimpangan semerawut grogol ?
• Di hari keberapa kita mulai berani cari makan di daerah Jembatan 5 - Kota ?
• Dan mulai berani nginjek mall sana sini, mungkin ? (kecuali mall yang hangus tentunya)
• Atau mungkin ada yang kayak saya.... mulai berani ngadain resepsi pernikahan ?

Butuh waktu berapa lama, untuk semua itu ? 5 hari ya ? seminggu ? or 2 minggu ........

Sepertinya kita memang orang maha kuat yah, buktinya kita begitu cepat bangkit dan berbenah diri dari kelumpuhan sebuah tragedi yang tergolong bukan biasa2 saja. Atau memang begitu besarnya skala kekejaman tragedi Mei 98 sehingga nalar orang ga mampu menangkapnya secara keseluruhan? Atau sebenarnya pihak pemerintah kitalah yang perlu diacungkan jempol, untuk sebuah prestasi dalam pengendalian dan pemulihan situasi darurat bangsa ? Entah yang mana yang hebat.

Kalau boleh saya ibaratkan peristiwa Mei 98 seperti pementasan sebuah drama kolosal, maka sepertinya para pemeran dan pendukung cerita....memang diharapkan segera berbenah tanpa perlu mendengar aba-aba, membereskan kostum bekas pakai, menghapus bersih make up wajah tadi siang, menanggalkan dekor panggung menjadikannya kosong melompong dan membersihkan sampah yang pasti ada disana sini. Setelah itu ....pulang, dan besok kembali melakukan aktivitas seperti biasa.

Jadi, saya mulai setuju dengan apa yang dikatakan Romo Sandy diatas. Sepertinya memang kita berhasil dipaksa menjadi bangsa yang gampang lupa. Mereka yg hari itu dijarah rumah dan mobilnya, langsung minggat ke luar negeri. Mereka yang hari itu menggotong-gotong kompor gas dan kipas angin, keesokan harinya seperti biasa membuka warteg dengan kompor baru dan sedikit udara sejuk. Abang ojek juga berbaju baru dan sambil cari obyekan mampir ke toko mas di Pasar Inpres untuk menjual 2-3 cincin berlian. Namun bak sebuah mata uang yang selalu mempunyai 2 buah sisi, disatu pihak hati nurani menegur kok gampang lupa, tapi dipihak lain saya bersyukur kepada Tuhan karena membiarkan bangsa ini menjadi sedemikian pelupa sehingga mampu melewati 3 hari perjalanan jembatan penderitaan dan ketakutan secara instan. Instan itu asal cepat, mudah dan rasa (sakit) nya tidak terlalu heboh, kayak mie instan. Walau diakui segala proses berbau instan, minim pembelajaran yah ?.

Waktu cepat berlalu, kalau waktu peristiwa Mei 98 saya belum nikah maka sekarang saya sudah punya anak tiga. Kalo dulu keponakan saya masih ingusan umur 4, sekarang dia sudah remaja dan mulai khusuk baca soal sosial politik di koran lokal Malang. Kira-kira empat ribu sekian hari telah berlalu sejak kita semua menjadi saksi bisu peristiwa kelam bangsa ini. Terlalu kelam sebenarnya buat diingat kembali, seorang kawan mewanti-wanti, juga beberapa rekan mempertanyakan apa gunanya mengingat-ingat kejadian yang begitu traumatik. Saya sendiri punya gen panik (mungkin turunan dari papa), jadi terus terang saya mulai khawatir semua orang melupakan dengan tanpa sadar peristiwa Mei 98, termasuk saya sendiri. Bayangkan, kalo dalam 3 hari saja kita sudah lupa betapa mencekamnya tragedi Mei 98, apakah kira-kira masih ada memori yang tersisa sekarang....setelah 11 tahun peristiwa itu berlalu, setelah kita semua kembali tenggelam dalam kesibukan hidup dan kepenatan Jakarta ???? Pertanyaan itulah sumber mata air, darimana kemudian ide jurnal renungan ini mengalir.

Jurnal ini ga akan bermain dengan data korban atau kronologis peristiwa Mei 98, tujuannya bukan untuk membakar dendam, juga bukan untuk menudingkan telunjuk kepada pihak tertentu, dipastikan tidak juga akan memberi sumbangan yang berarti untuk penyelidikan dan penegakan keadilan yang sudah lama tertunda. Jurnal ini biasa-biasa aja, ditulis sekedar untuk mengusik perhatian dan menepuk lembut bekas luka yg sudah terlanjur mengering dan terlupakan. Semoga tujuan sederhana ini kesampaian sehingga pesan yg tertinggal di setiap insan yg membacanya adalah bahwa sekecil apapun diri kita, di bumi belahan manapun kita berada saat itu dan saat sekarang, kita semua tetap adalah para survivor tragedi, di tanah kelahiran sendiri.

Dan itulah kenapa beberapa minggu belakangan ini, nama Rosson Kusnadi (Alm) saya ungkit kembali dan beberapa ‘wake-up messages’ saya kirim ke beberapa teman2, yang membuahkan hasil dengan kesediaan mereka memberikan testimoni pribadi mengenai peristiwa Mei 98 berdasarkan perspektif masing2. Berikut adalah Debu Mei 98, cerita dari pelosok Jakarta yang belum pernah saya dengar, yang saya kumpulkan untuk menghiasi kain putih berkabung peristiwa Mei 98. Sebelum debu ini hilang lenyap ditelan waktu, sebelum cerita ini menjadi berita yang tidak pernah disuarakan.

Sumiati G. ( wiraswasta di Jelambar, tinggal di Daan Mogot - Jakbar )
Gue tinggal dibelakang Mall Citraland, di Jl. Karya. Waktu itu belum engeh bakalan ada kerusuhan, yg ada waktu itu baru demo mahasiswa. Ada bakar2 ban mobil ampe ribut gede, di daerah rumah aman2, pada jaga2 daerah sendiri.

Terus besoknya tgl 13 Mei pas gue mo pulang ke tangerang, di jalan tol massa udah mulai bergerak, gue langsung balik arah pulang jelambar lagi. Gila ngeri banget, bayangin… jalan tol bandara ditutup ama massa yg mo rampok. Udah gitu gue denger dari radio sonora kalo mobil pada dibakar2 di jalan tol, orang2 pada dipalak. Untung gue udah dirumah lagi, elu bayangin kalo gue dijalan, bisa mampus gue! Udah gitu pas sorenya, bengkel ban deket rumah dijarah, gudang lipovitan dijarah, pokoknya gudang & toko di sepanjang Jl. Daan mogot pada dijarah. Supermall Karawaci juga kebakar abis. Beberapa hari setelah itu gue survey karena rencana mo buka toko lagi disono, liat tuh mall sedih banget sampe ancur & angus dalamnya.

Diaz N. ( karyawan di Kuningan, tinggal di Pluit Mas - Jakut )
Tanggal 12 Mei 1998, gua pulang kantor naik taxi, kena macet merambat pas di jembatan layang jalan tol Grogol. Tiba2 kedengeran suara orang rame teriak2 dan berhamburan dari sebelah kanan (universitas Trisakti) ke arah Mall Citraland, dikejer aparat polisi sambil nembak dor..dor….. Gua ama tukang taxi kebingungan itu polisi nembakin siapa, maklum ga dengerin berita bhw ada unjuk rasa di Trisaksi siangnya.

Besoknya, madol kerja dan ngumpet di rumah, duduk di depan TV and pasang kuping di radio. Berita kerusuhan n penjarahan tumpang tindih ga ada habisnya, sana dibakar, sini dijarah, sebelah mana lagi juga dikepung massa. Ketua RW komplek rumah udah ngasih instruksi, minta para lelaki dewasa ngumpul di sekitar pos bawa pentungan, balok kayu, tongkat or kalo terpaksa…payung gede, buat jaga2 serbuan masa yg katanya lagi mengarah ke arah Pantai Indah Kapuk, dan akan melewati depan komplek. Para ibu2 dan anak2 disuruh ngumpul di sekolah Dharma Suci, satu2nya sekolah yg ada di dalam komplek.

Akhirnya massa memang lewat, waktu itu saksi mata bilang sekitar 2.000 orang long march, dan komplek rumah selamat cuma dilewatin, karena inisiatif Pak RW yang nge-bayar orang2 kampung belakang buat bikin pagar betis rapat sepanjang jalan masuk.

Kalo ga salah 2 hari setelah itu, kita udah berani keluar. Kita semobil survey ke Telukgong dan ngeliat bengkel mobil ( usaha joinan Papa gua dan 2 temannya) hancur, jendela pecah, pintu rolling door ambruk dan mobil2 sekitar 8 mobil yang sehari sebelumnya standby di bengkel buat di servis ditarik keluar dan dibakar. Survey ke Bandengan Utara, Jl. Angke dan Jembatan Lima, banyak bangkai mobil dan barang2 yg dibakar di tengah jalan. Bulu kuduk gua merinding ngebayangin apa yang terjadi kemarin disitu.

Robertus O.K. ( karyawan di Hayam Wuruk, Tinggal di Kemurnian – Jakbar )
Gua waktu itu kerja di bank Bali Hayam Wuruk. Pas mulai rame, karyawan disuruh pulang. Sampe di jalan nga ada kendaraan, terpaksa jalan kaki ke rumah di kemurnian. Kompleks rumah hampir diserang masuk, untung udah pada siaga. Api di gloria berasa dekat & panas. 3 hari nga tidur. Thank God it was soon over.

Sandra D. ( tinggal di Sunter – Jakut )
Waktu kerusuhan gua lagi hamil 8 bln, masih tinggal di Griya Inti Sentosa-Sunter. Waaaahhh….. pengalaman gua hebooohh seeeruuu banget. Daerah rumah gua kena, gua gak bisa keluar dari komplek sampe malem jam 10. Duduk di depan komplek rame2 sama semua penghuni, gua gak makan 1 harian sampe turun 2 kg, 5 meter lagi rumah gua kena attack. Laki gua sampe diuber2 penjarah, waktu dia balik ke rumah hanya mau ngambil 1 galon aqua. Seruuuu kan..Makanya gua skrg trauma tinggal di Indo kalo mau pemilu, dan gua sekarang takut kalo liat org rame2 ngerumun, takut ada apa2.

Felila S. ( keluarga tinggal di Jakarta Barat )
Gua dah di Amrik. But sampe ngeri dan sedih banget ngedenger beritanya. Untung keluarga (tersebar di jkt barat dan pusat yah) dlm keadaan aman. Tapi kayaknya ada berita anak Ricci yg meninggal karena peristiwa itu yah, Rosson Kusnadi. Dia 2 angkatan di atas kita deh. Tragis yah.

Marlina C. ( karyawan di Sudirman, tinggal di Kayu Putih - Jakpus)
Gua waktu itu ngontrak di kayu putih, Puji Tuhan....suami gua dapat info express karena dia di Citibank, kita ngungsi ke Malaysia, anakku yg pertama masih 8 bulan. Bersyukur banget.. Semua keluarga besarku ok2 aja, yg cewek2 ngungsi ke Kuala Lumpur, ada yg sekolah ke Singapur juga, ada yg ke Amerika & ada yg ke Aussie juga.

Ellyna L. ( tinggal di Jl.Prapanca – Jaksel )
Gua di Jakarta , trus malemnya gua ke Jl. Gajah Mada-kota tuh naek L300 mini bus geto ama sekompi pasukan, kacanya gelep dan bodyguard temen gua duduk di depan, gua diselundupin di tengah2 deret belakang. Trus gw bener2 liat tuh kota ancurr, msh ada mobil yg kebakar, kaca berhamburan dimana mana, orang2 yg nangis di depan rumahnya yg kebakar...tragis bgt d...

Aida M. ( tinggal di komp. Jamhari - Jakbar )
Hari itu adik gue kagak bisa pulang ke rumah karena dia stuck dan tinggal dirumah temennya selama 3 hari, gak mandi, gak ganti baju, kita cuma telpon-telponan aja dan make sure kalo dia selamat.
Dan pada malem kedua, komplex jamhari hampir diserbu sama gerombolan. Dari jauh kita bisa denger mereka teriak-teriak...serbu...serbu..., trus bokap gue dan tetangga-tetangga pada siap-siap pegang apa aja yang bisa untuk melindungi diri. Satu hari satu malam kita gak tidur, takut diserbu, atau komplex kita dibakar.
Kiu-kiu gue yang buka toko jamu di angke sudah dijarah habis, tapi untungnya gak dibakar makanya mereka sekeluargapun ngungsi kerumah gue. Tapi tetep aja kita ketakutan, stress out, gak tidur selama berhari-hari.

Akhirnya, gue sekeluarga langsung beli tiket dan rencananya mau berangkat ke s'pore...tapiiiii....
kita stuck lagi di airport satu malam karena....wwiiiiihhhh....itu manusia yang di airport udah kayak apa tau...buanyaaaakkkk sekali dan padat, lebih parah dari jakarta fair. Kita pada tidur di lantai, bawa apa aja yang bisa dibawa, kiu-kiu gue malah sempet bawa beras dan supermi.

Trus, begitu kita sampai di airport s'pore, kita diserbu sama wartawan disono. Kiu-kiu gue diwawancarai.
dan besokannya kita ada dikoran s'pore, mereka tulis: “ Satu keluarga mengungsi dari Jakarta karena kerusuhan tanggal 13 mei, tidak banyak yang mereka bisa bawa selain beberapa helai pakaian dan sekarung beras “

Gw dan keluarga ngungsisi ke Singapore selama 3 minggu sampe situasi bener-bener aman.

‘ M a y ’

Sayangnya film ini hadir bukan sebagai film dokumenter yang menceritakan persis tentang apa yg terjadi pada tragedi Mei 1998. Walaupun demikian, film drama yang dikemas dengan hati-hati oleh Viva Westi dan dirilis pada bulan Mei 2008, tepat 10 tahun peringatan peristiwa tragedi memberi sumbangan yang berarti untuk sebuah pesan pengakuan. Film ini mengangkat unsur dampak dan akibat yang dirasakan oleh korban penjarahan, kerusuhan dan penganiayaan HAM.

Sinopsis film : MAY
Tanpa memperdulikan perbedaan etnis diantara mereka, Ares (Yama Carlos) dan May (Jenny Chang) adalah pasangan yang saling mencintai. May adalah seorang gadis keturunan Tionghoa yang sedang mengejar cita-citanya untuk menjadi seorang penyanyi. Tetapi pada tgl 13 Mei 1998, tragedy kerusuhan di Jakarta, May menghadapi kenyataan pahit sbg korban pemerkosaan massal dan hari itu May kehilangan seluruh hidupnya, cintanya dan terpisah dari ibu kandungnya., May diselamatkan oleh seorang warga asing dan akhirnya pindah dan menetap di Malaysia sebagai penyanyi klub.

Sementara Ibu May, harus menelan kenyataan pahit karena mengganggap May telah tiada. Dalam keadaan linglung pada saat kerusuhan dan penjarahan terjadi, Ibu May memberikan sertifikat tanah rumah dan tempat usahanya kepada Gandang, hanya untuk selembar tiket ke luar negeri, yaitu ke Malaysia.

Sepuluh tahun telah berlalu sejak kejadian itu, walaupun mereka masing2 telah memiliki kehidupan baru namun tetap saja dihantui bayang-bayang peristiwa tragedi mei 98 di Jakarta yang telah membekas menjadi kenangan yang amat pahit. Beberapa peristiwa mempertemukan kembali May dan Ibunya juga Ares. May yang mencinta namun terluka tetap pada pendiriannya untuk tidak pernah kembali kepada Ares yang pada hari tragedi tidak datang menjemputnya.

Kusniati U.
Gua balik lagi ke oz Sept 1996, married Mar 1997. May 1998 udah hamil anak pertama tuh, disana.

Dewi S. ( tinggal di Grogol - Jakbar)
Waktu mei 98 aku masih kuliah di Untar & ngekost di daerah tawakal grogol. Kos aku kebetulan bisa liat langsung ke jalan raya kyai tapa krn depan kos aku tanah kosong. Penembakan mahasiswa tgl 12 mei kalo ga salah ya? 13 mei kan pemakaman mahasiswa trisakti, habis pemakaman mereka mulai merusak lampu2 jalan. Tapi yg merusak bukan mahasiswa, tapi orang2 awam yg ikut2an. Setelah lampu jalan & fasilitas umum dirusak, mereka mulai menjarah supermarket & tempat perbelanjaan. Sasaran mereka adalah tomang plaza (topaz) yg berjarak kira2 hanya 200m dari kosku. Aku liat dengan jelas dari balkon kos, mereka menjarah monitor komputer & brg2 elektronik lainnya. Setelah habis dijarah, mereka membakar topaz tsb. Kita yg di kos sempat takut api bakal menjalar, tapi untung malam hari api sudah bisa dipadamkan. Tgl 14 nya denger dari berita mereka mulai menjarah rumah2 dengan sasaran rumah orang chinese, tapi dengernya masih di daerah tangerang. Sampe sore hari masih sebatas mendengar berita dari radio/tv, & malam hari nya di tv bahkan ditampilkan penjarahan & pembakaran rumah2 di daerah angke. Kami yg di kos semua wanita n mayoritas chinese, sudah mulai packing membawa surat2 & barang2 penting, takut akan kemungkinan terburuk. Untungnya pemilik rumah yg tinggal di lantai bawah bukan chinese & punya anak lelaki dewasa sehingga paling tidak kami cukup merasa aman. Kira2 jam 2 pagi, pintu kos kami digedor2, ternyata pak RT yg memberitahu bhw kami harus siap2 karena massa sudah dekat, dia menyarankan agar kami siap2 lari ke pos terdekat. Kami seisi rumah panik & mulai ketakutan, hampir semua dari anak2 kos mulai menangis & berdoa. Aku membayangkan apa jadinya kalo seandainya massa benar2 menyerbu kos kami, kalau hanya brg2 yg diambil sih tidak apa2, tapi kami cewek2 apakah tidak akan diapa2in? Aku tak henti2nya doa mohon perlindungan Tuhan, kami duduk di ruang tengah & doa bersama2 sambil menangis. Semua lampu kami matikan, & anak ibu kos sudah naik ke balkon kami sambil menenteng senapan. Semalaman itu tidak ada satupun dari kami yg tidur, semua berjaga2 sambil melihat ke jalan raya. Dari kejauhan kami bisa melihat beberapa kali rombongan massa melintas di seberang jalan kyai tapa, yaitu di sekitar jln muwardi & susilo. Aku tidak tau apakah mereka habis menjarah muwardi atau hanya melintas saja setelah menjarah dari tempat lain. Sampe pagi hari kami berjaga, & puji Tuhan mereka tidak sampai ke daerah kami. Tgl 15 kami msh mendengar msh ada penjarahan di pinggiran jkt tapi skalanya sudah kecil. Kami benar2 bersyukur krn kami selamat & terhindar dari bahaya. Amit2 7 turunan jangan sampe ada kejadian seperti itu lagi deh...khususnya di indo ya...May God always bless us...

Indriyanti K. ( tinggal di Keadilan - Jakbar )
Panjang bangetzzz, yg seinget gua waktu itu baru berhenti kerja dan puji Tuhan kayaknya ga ada seorangpun dari family gua yang sampe kejebak ga bisa pulang segala. Gua udah punya anak umur 1thn, hampir2 gak bisa tidur krn deg2an meskipun gua gak liat apapun cuma denger2. Kalo kata bokap nyokap di pintu kecil lebih tegang krn didepan rumah lalu lalang org2 yang ngejarah bahkan anak kecil kuat panggul monitorPC serta ibunya dorong2 kulkas.. Sementara langit menghitam karena glodok lagi dibakar.. Cowok2 pada giliran ronda sedang gua lagi berjaga2 sambil liat2 di plafon bagian mana yg bisa gua ngumpet sambil bawa bayi yah kalau tiba2 ada sekawanan yang nyerbu.. Wah amitz amitz jangan sampai terulang lagi.

Intan E. ( keluarga tinggal di Jakarta Barat )
Gua di jepang dari taon 90. Waktu kerusuhan itu gua pas lagi mau pulang for good (barang2 semua udah dikirim semua tiket gw pun udah beli). Siapa tau kerusuhan, jadi papi gua suruh tunda dulu. Eh pas dapat offer kerjaan yg sekarang ini, terus kenal suami, akhirnya gak jadi pulang. Ikut stress juga sich biar gak ngalamin langsung karena keluarga gua tinggal di kota, deket toko damai.

Hendri H. ( tinggal di Kelapa Gading - Jakut)
Gua ada di kelapa gading bawa tongkat sepotong mondar-mandir dari satu pintu gerbang ke pintu gerbang lainnya sama tetangga mengantisipasi serangan yang tidak jelas akan datang atau tidak.

L. Irwan ( tinggal di Perniagaan - Jakbar)
Mei 98 masih di lokasi lama di Perniagaan. Pas kejadian gua baru balik dari Sunter kantornya Time Zone ke arah Sudirman SCBD. Di Atma sudah mulai rame, baru siangnya dapat kabar sudah mulai tembak2an. Sorenya pulang bareng rame2 konvoi menuju Cengkareng, tapi di Ring Road menuju Pasar Cengkareng sudah dihadang puluhan orang yang berusaha mecahin kaca mobil, mereka naik ke kap mobil & ada beberapa yang berusaha gulingkan mobil. Syukurnya dari 5 mobil hanya 1 mobil yg pecah kaca depannya tapi kita semua berhasil putar balik menuju Kebon Jeruk Intercon. Malamnya nginap disana, paginya kondisi kelihatan kondusif, balik ke rumah di Perniagaan tapi gak tahu kenapa rutenya lewat Sudirman, gua sendiri gak nyadar pokoknya bisa sampe rumah dengan selamat. Di rumah sebelah Pasar Jaya sudah hangus, org2 rame pada ngambilin brg. Suasana tidak mencekam, cuma jam 10an ada beberapa orang komando mulai bakar2 an lagi, 2 hari ke depan suasana mencekam bakar2an ssampe hari ke-3 baru tentara turun jaga keamanan suasana baru kondusif."

Lihardi ( tinggal di Gg. Songsi - Jakbar)
Gak ada apa2 karena tinggal di jalan kecil dan dalam gang. Yang parah di jemb lima. temen gua motornya ditarik keluar dan dibakar. Tapi toko obat deket Dokter Rony kasih duit ke preman2 sana, gak di apa2 in, itu di hari pertama.
Saat itu gua masih kerja di ketapang. Hari kedua yg gua gak kerja. Gua temenin nyokap ke pasar seberang sekolah bhinneka. Waktu jalan masuk ke songsi, tiba2 ada org2 berlarian. kita jadi ikut2an tanpa tau ada apa, tapi ya...nothing happened.

Ria P. ( kerja di Senen, tinggal di Pejagalan-Jakbar)
Gua waktu itu masih di jakarta, baru melahirkan anak pertama. Kerja di Mitra supermarket, masih 1 grup sama Hero, under Dairy Farm group (cold storage, guardian etc). Pas hari kejadian, itu hari terakhir kerja dan gedung dibakar, untung keburu keluar dulu, ngungsi semalem ke rumah ipar gua, trus gak lama kita pindah ke singapur.

MERPATI KECIL

Tanpa mengecilkan arti dari pengorbanan 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti pada peristiwa 12 Mei 1998, di jurnal ini saya mau menyebut satu nama lain yang kisahnya saya kutip karena saya begitu salut sama semangatnya, dan sekaligus mengutuk ketidakadilan yang membuat sayap sang merpati kecil ini terkulai. Entah yah…kalau memang ada harga yang harus kita bayar untuk sebuah reformasi bangsa, maka apakah tragedi Mei 98 dan nyawa seorang Ita adalah jawabnya? Apakah harga ini tidak berlebihan ?

ITA MARTADINATA ( seorang aktivis HAM Indonesia, berusia 18 tahun ) Sumber : Wikipedia
Nama sesungguhnya adalah Martadinata Haryono. Siswi kelas III SMA Paskalis berusia 18 tahun ini ditemukan tewas dibunuh pada tanggal 9 Oktober 1998 di kamarnya di Jakarta Pusat. Perutnya, dada dan lengan kanannya ditikam hingga sepuluh kali, sementara lehernya disayat. Hal ini terjadi hanya tiga hari setelah Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) dan beberapa organisasi hak-hak asasi manusia lainnya mengadakan konferensi pers, dan menjelaskan bahwa beberapa orang dari anggota tim ini telah menerima ancaman akan dibunuh apabila mereka tidak segera menghentikan bantuan mereka terhadap investigasi internasional atas perkosaan, pembunuhan, dan pembakaran atas sejumlah gadis dan perempuan Tionghoa dalam kaitan dengan Kerusuhan Mei 1998.
Pihak yang berwajib menyimpulkan bahwa kematian Ita hanyalah suatu kejahatan biasa, yang dilakukan oleh seorang pecandu obat bius yang ingin merampok rumah Ita, namun tertangkap basah, sehingga kemudian ia membunuh gadis itu. Namun banyak pihak yang meragukan pernyataan ini. Apalagi menurut rencana Ita dan ibunya, Wiwin Haryono, akan segera berangkat ke Amerika Serikat dengan empat korban Kerusuhan Mei 1998 sebagai bagian dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan, untuk memberikan kesaksian kepada Kongres Amerika Serikat tentang tragedi itu. Ita dan ibunya diketahui cukup banyak terlibat dalam memberikan konseling kepada para korban kerusuhan tersebut.

Ivi T. ( tinggal di Grogol - Jakbar )
Waktu itu gua ngekos di Grogol. Gak bisa pulang ke rumah akhirnya nginep di Jl Bangka (kosan cici). Berhari2 kantor tutup, segala sesuatunya very uncertain. Belakangan hari baru tahu bahwa kita korban dari oorang/golongan yg memanfaatkan situasi yg sengaja mereka ciptakan itu. Tapi kita termasuk korban yang beruntung..

Tjin Fei ( keluarga tinggal di Jelambar – Jakbar )
Masih belum pulang, waktu itu rumah ortu di jelambar. Msh di US dan pulang thn 2000.

Jillian G. ( tinggal di Kebon Jeruk Intercon - Jakbar )
Di rumah dengerin radio and nonton TV, bokap sama adik aja yang malamnya disuruh jaga siskamling soalnya suka dapet berita ngawur massa udah masuk komplek laah, udah di blok sini…blok sana, padahal ga ada. Tapi ruko di intercon depan, kabarnya ada yg diperkosa dan mati angus terbakar.

Kiyanto A, ( usaha di Mangga 2, tinggal di Pademangan )
Tahun 98 gw dagang Cover dan Rak VCD di Mall Harco Mangga 2. Customer gua toko2 dan stand2 VCD di Harco Mg II, ITC, Glodok dan sekitarnya. Waktu itu dagang lumayan ok. Waktu itu barang gua ngak pernah cukup untuk dibagi ke customer. Jadi bisa bayangkan tagihan gua diluar cukup banyak karena VCD lagi booming waktu itu.
Setelah kerusuhan Mei 1998 Glodok , Mangga II dan sekitarnya habis dijarah. Gw langsung lemas setelah melihat ke semua tempat customer gua, habis semua. Dan benar, para customer sebagian tidak bisa bayar, sedangkan gua ama pabrik tetap harus bayar. Gua tinggal di pademangan waktu itu....pulang dari mangga 2, kira2 jam 18.30 udah sepi banget jalan....kaya kota mati.

Theresia C. ( tinggal di Gg. Kalimati - Kota )
Tinggal masih di kota, wah serem banget lho disana.. gang i-ie gua itu banyak banget yg lewat2 gotong2in TV n electronic dari Glodok bekas dijarah, gua takut banget lho soalnya dia orang mau masuk gang i-ie gua situ, tapi untung di depan banyak orang padang yg jualan baju halang2in. Wah kalo sampe masuk bahaya tuch, kita keluar salah gak keluar juga salah.

Imelda V. ( tinggal di Kelapa Gading - Jakut)
Gua saat itu gak merasakan apa2, karena gua di rumah. Saat itu Kelapa Gading aaammaaannnnnnnn banget karena Pak Wiranto katanya punya rumah di Kelapa Gading. Jadi, gak ada apa2 ....

Risantha S. ( tinggal di Jl. Tambak )
Saya kost waktu itu di Jl.Tambak. Setelah ada bakar-bakaran mobil, kantor PDIP yang di dekat Jl.Proklamasi juga terbakar, jarah-jarahan di Toko alat-alat musik Jl.Proklamasi, itu berlangsung sekitar jam 3 sore. Lalu saya memutuskan untuk mengungsi ke rumah kakak saya di Rawamangun dengan Taksi. Saya lewat senen belakang yang dilintasi kereta api. Waktu itu jam menunjukan 6 sore. Didepan taksi saya dihadang massa yang begitu banyak dan menunjuk nunjuk ke arah saya bilang “ CINA-CINA KELUAR LOE…” di dalam taksi memang saya ditemani seorang teman cowok. Mereka pukul-pukul taksi. Tiba-tiba ada yang teriak : buka-buka..bukaaaa...sambil gedor pintu penumpang yang di depan, lalu supir taksi buka, si penggedor mendorong seorang perempuan yang masih muda usia 18 tahun secara paksa ke taksi saya dan teriak sama supir taksi ' JALAN….JALAN CEPAAAAT….’. Cewek itu penuh ketakutan dia bilang dia pergi ke senen dengan ibunya mau belanja dan sekarang terpisah dengan ibunya, dan dia baru saja diperkosa sama massa yang di senen itu, begitu dia katakan ke saya. Saat itu saya juga shock baru lepas dari maut, saya juga bingung. Ga ada yang dapat saya lakukan saat itu sampe akhirnya kita berpisah di Rawamangun.

Daivy S. ( tinggal di Jelambar - Jakut )
Wah.... menegangkan banget. Malam hari aku lihat langit merah karna api, yang kedengaran cuma bunyi tembakan dari jauh. Aku pikir...apa perang seperti ini juga? Aku takut banget, anakku yang masih kecil sampai kutitipkan sama mbakku, biar kalau terjadi apa2 anakku dibawa pulang ke kampungnya asalkan selamat. Thanks God, finally nothing happened to our family!

Tintin S. S. ( tinggal di Tanjung Duren - Jakbar )
Luckily, gue married just about a month before kerusuhan Mei 98. Gue tinggal di daerah Tanjung Duren Grogol. Waktu massa mau masuk gang, ada barikade masyarakat setempat, jadi kita selamat. Mertua udah jadi warga di situ 30 tahun lebih, dan kita udah membaur. Karena trauma, cici2 gue akhirnya decided migran ke Canada, adik gue sekolah ke China.

Kenneth W. ( tinggal di Keadilan - Jakbar )
Waktu kerusuhan saya di keadilan ngikutin jaga malem itu kalo ga salah 1 minggu penuh cuma tidur beberapa jam doang.. malem musti muter2 siskamling.

SURVIVING MEMORIES

Dengan meraba memori seputar peristiwa Mei 98, salah satu pelukis Indonesia yaitu FX. Harsono dengan sangat profesional menuangkan kepeduliannya dalam karya lukisan dan karya instalasi di sebuah pameran yang dilakukan di Distrik Kesenian 798, Beijing pada tanggal 29 Maret – 15 April 2009. Berikut beberapa koleksi menarik yang dipamerkan.



Hermawan W. ( tinggal di Kelapa Gading - Jakut )
Gue tinggal di kelapa gading, ronda sampe malam, waktu gue denger radio sudah memasuki makro penjarah2 nah kita semua siap siap lagi, semua warga yg lelaki harus tunggu di depan gang. Waktu paginya gue antarin boss ke airport hampir ngak bisa jalan karena semua orang sudah memenuhi jalan tol, akhirnya supir boss buka kaca lemparin duit ke mereka, nah baru mereka minggir, wuih seremnya waktu itu.

Freddi W. ( tinggal di Sawah Lio - Jakbar )
Waktu penembakan, gua lagi di Taman Anggrek - dinner di Samudra bareng temen dari kantor Singapore. Selesai dinner jam 20-an sempat muter di trisakti (gak tahu kalo ada penembakan sore tadi) balik nganter ke Cikarang. Esok pagi jemput mereka di Cikarang - 1 org ada yg mau pulang ke Singapore, saat perjalanan ke airport di kiri kanan jalan tol mulai tampak asap pembakaran2. Dari airport jemput calon istri di Pluit (dia kerja di sana) mau pulang ke rajawali. Jalanan macet, gua stuck di gedong panjang - mobil gua titip di salah satu rumah di sana. Dari gedong panjang, gua dengan Ling jalan kaki sampe Beos baru naik bajaj ke rajawali. Dari rajawali gua dianter naik motor ke jembatan lima - saat turun dari jembatan asemka di perempatan jemb lima lihat massa sudah penuh di jalan, gua turun jalan kaki pulang masuk dari Laksa deket rumah si Ade ke sawah lio. 3 hari 3 malam gua gak bisa tidur, karena denger2 banyak yg berusaha nge-bakar di daerah pemukiman, yg gua inget kalo lagi malam langitnya bewarna kemerahan akibat terangnya api. Jangan lagi deh kejadian seperti itu.

Endang N. ( kantor di Mangga Dua, tinggal di TPI )
Pada kejadian Mei 1998 aku berada di Mangga Dua (kantor saya). Yang ada di rumah saat itu hanya bokap dan pembantu ..... jadi memang itu juga menjadi kekhawatiran aku untuk keamanan di TPI. Kalau di Mangga Dua yang diisu kan kerusakan dan kerugian yang terbesar. Puji Tuhan. Kantor kami adalah satu-satunya ruko yang dilewati lautan api. Kantor kami no. 25, sementara ruko dari no.1-24 diteruskan 26-45 semua dibakar dan dijarah.
Hari itu kami terus berdoa dan bergandengan tangan. Kami katakan dan minta Tuhan yang menjagai. Akhirnya kami melihat tangan Tuhan yang menutupi kantor kami, yang baru peresmian & mulai operasi tgl 14 Februari 2008. Dan selang 3 bulan kena kerusuhan ! Kami seisi kantor naik ke hotel Ibis dan melihat dari atas ......Sejauh pandangan mata kami adalah : API dan ASAP. Sempat terlintas diotak, keadaan ini akan berlangsung berapa lama ? Jangan2 ini akan berlangsung lama, dan berarti kita tidak akan bisa berkumpul dengan keluarga. Sempat rencana mau nekat pulang, tapi batal karena tidak ada kendaraan dan tidak ada seorang Chinese pun yang berani keluar, apalagi wanita !
Kita ngintip dari atas hotel Ibis, massa yang datang berjubel2 dan membawa barang2 yang bisa dibawa termasuk lukisan juga ember. Sempet ada beberapa orang yang melihat ke atas, dan menemukan kami..... berteriak2 sambil menunjuk2 kami seolah2 berkata : itu masih ada mangsa !! Kami bisa lihat mata mereka MERAH... bener2 menyeramkan seperti setan.
Yang ajaib, office boy (pribumi) kita suruh turun dari hotel ibis dan belaga jadi orang2 luar untuk memantau keadaan dan situasi di sekitar kantor kita. Dan dia pulang bercerita yang buat kita salut dengan Tuhan kita ! Bayangkan orang2 yang menjarah sudah di depan kantor dan mau dobrak masuk. Kantor kita pakai rolling door (seperti tetangga2 lainnya) dan digembok dengan 1 gembok. Biasanya harus 2 gembok. Dan mereka dongkrok gembok yang kecil tapi tidak bisa kebuka. Sampai2 rolling doornya pengok tapi gembok gak kebuka ? Kalau bukan Tuhan siapa yang pegang. Massa sempat juga mau masuk lewat ruko tetangga ke atap, tapi berhubung sangat gelap (mati listrik), mereka tidak berani masuk. Mungkin sangkin kesalnya, dari atas (atap lt 4) mereka lempar api masuk ke dalam. Di dalam kita pakai karpet loh. Kalau dengan logika pasti terbakar... habis lah kita. Ajaibnya lagi hanya sepetak yang hangus, ada api tapi tidak bisa menjalar ke tempat lain. Kalau bukan Tuhan yang matikan, siapa lagi ?
J. Juardi ( tinggal di Bandengan Selatan - Jakut)
Gue pada waktu itu kerja di Lautan luas jadi sales. Gue jam 3 sore di suruh pulang sama sekretaris, ada berita yg tidak enak. trus gue langsung jemput pacar di PT Asaba, kalau antar ke rumahnya di jati negara tidak keburu jadi gue ajak ke rumah gue di bandengan selatan. Tadi rencana masih mau jemput adik gue (laki2) di binus, tapi udah di cegat tetangga di stop tidak boleh keluar lagi. Karena sudah ada bakar2an. Gue suruh adik gua nginep di kost temannya, kasihan dia cuma makan indo mie kering seminggu lamanya, tidak bisa keluar takut di gebukin masa.

Robbert S. C. ( tinggal di Tangerang )
Wah kalo waktu mei 98 itu kejadian tgl 11 mei 98 persis anak gua umur 1 bln, jadi ga bisa kemana2 dan deg2an juga karena anak gua masih kecil & ga punya surat lagi. Mungkin kalo udah ada pasport udah kabur tapi ga bisa. Wah serem banget. Gua udah di tangerang dkt lippo. Waktu itu kan lippo karawaci kan habis juga dibakar. Wah pokoknya horor deh....

L. Ali ( keluarga tinggal di Kemurnian - Jakbar )
Waktu itu pas lagi training di Franfurt, Germany. Gua inget pas liat CNN, ngeri tuh.....mudah2an gak sekali lagi.

Haries S. ( tinggal di Muara Karang - Jakut )
Wah, waktu itu kayanya gua lagi gak kerja deh . . . baru abis di PHK. Puji Tuhan gua sama sekali gak kena imbas apa2, soalnya muara karang / pluit dijaga sangat ketat meski masih ada toko di raya muara karang yang di bakar.Tapi untuk ke komplek2 rumah aman tuh, soalnya gua masih inget ada sekompi tentara dan masyarakat pemilik rumah yang jaga di setiap komplek di muara karang.

Wiwik P. (tinggal di Muara karang - Jakut )
Aku ada di Jakarta tinggal di muara karang. Rumah aku sih ga kenapa2 tp ada tmn yg rumahnya di Pantai Indah Kapuk dijarah & dibakar. Kita yg tinggal di muara karang cuman berjaga2 aja. Puji Tuhan ga terjadi apa2.

‘ 98.08 ‘

Antologi 10 film pendek yang disuarakan oleh generasi yang mengalami dan mungkin juga yang menggerakkannya, sehingga antologi ini bisa dibilang mewakili persepsi paling utuh tentang peristiwa Mei 1998 dan segala keterkaitannya yaitu persoalan etnis Cina dan kaitannya dengan pembentukan bangsa dan politik negri ini.

Di Mana Saya? (Anggun Priambodo), menampilkan sebuah kenangan kolektif : di mana Anda berada pada 13 Mei 1998? Yang Belum Usai (Ucu Agustin), karya dokumenter yg mengisahkan perjuangan Sumarsih, ibu dari korban peristiwa Semanggi (Nov 1999). Happiness Morning Light (Ifa Ifansyah), menggambarkan sebuah diaspora-in-the-making, buah dari hilangnya salah satu elemen penting kehidupan: rasa aman, pada peristiwa Mei98. Kemarin (Otty Widasari), mengenang peristiwa Mei 1998, dari kaca mata seorang mahasiswa partisipan unjuk rasa di Gedung DPR MPR. Sugiharti Halim (Ariani Darmawan), sketsa mengenai persoalan identitas etnis Cina- sebuah nama. Bertemu Jen (Hafiz), mengajukan strategi pemaknaan terhadap peristiwa Mei 1998, yang sangat amat beragam. A Letter of Unprotected Memories (Lucky Kuswandi), memperlihatkan problematik etnis Cina sbg orang yang terpisah dari masa lalu, sejarah, dan bahasanya. A Trip to The Wound (Edwin), membahas soal paling sensitif pada saat kerusuhan – sebutlah pemerkosaan. Kucing 9808, Catatan Seorang Demonstran (Wisnu SP), jurnal bekas seorang jendral lapangan dalam demonstrasi mahasiswa 1998. Our School, Our Life (Steve Pillar Setiabudi), mencoba merekam sebuah proses demokrasi, ketika sedang mencari bentuknya.

Jessica J.P. ( keluarga tinggal di Gg. Tikar - Pasar Glodok Selatan )
Hari kedua kerusuhan menjadi hari traumatis bagi kami sekeluarga.
Pagi itu Mama sudah terjebak di satu area dan tidak bisa pulang ke rumah, sehingga akhirnya check-in di sebuah hotel terdekat. Menjelang siang, rumah kami mulai termakan kobaran api yang berasal dari gedung pertokoan sekaligus hotel di seberang rumah kami. Awalnya Papa dan adik laki-laki saya masih sempat memadamkan kobaran api di teras depan kamar saya dan ruang tamu. Karena kondisi yang makin tidak kondusif, Papa dan adik saya bermaksud meninggalkan rumah dan mengungsi ke rumah saudara. Tapi ketika mereka akan meninggalkan rumah, mereka baru melihat dan menyadari kalau bagian depan rumah kami sudah hampir habis dilahap si jago merah. Rasanya rumah kami tidak mungkin terselamatkan lagi, mengingat ketika itu tak satu pun mobil pemadam kebakaran terlihat beroperasi sejak sehari sebelumnya.
Papa dan adik saya keluar rumah tanpa membawa apapun, kecuali pakaian yang mereka kenakan. Untungnya dokumen penting sudah dititipkan di rumah saudara sehari sebelumnya. Itupun hanya berupa surat-surat lahir, kewarganegaraan, dan paspor. Rapor dan ijasah kami tak satu pun yang selamat.
Masih segar dalam ingatan saya percakapan dengan Papa pagi itu. Seumur hidup saya belum pernah saya mendengar suara Papa yang begitu bergetar. Saya bisa menangkap getar ketakutan dalam suara dan nada bicaranya. Papa bukan seorang yang gampang menunjukkan perasaannya. Jadi saya tahu persis pagi itu Papa betul-betul mengalami sesuatu yang luar biasa dalam hidupnya.
Saya sempat berdoa di ruang doa household kami. Doa saya waktu itu seperti ini, “Tuhan, kalau boleh, biarlah api itu lewat dari rumah kami. Tapi bukan kehendakku, melainkan kehendakMulah yang terjadi. Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku seturut dengan kehendakMu…”
Nyatanya...rumah kami habis terbakar. Keluarga saya turut menjadi korban dalam kerusuhan itu. Saya sedih. Saya marah...pada para pelaku kerusuhan. Namun saya tidak marah ataupun menyalahkan Tuhan.

Tjiaw Phin L. ( tinggal di Pinangsia – Kota )
Waktu tahun 98, gua lagi hamil 5 bulan anak ke 2 . Sempet panik sich, tapi yach syukur puji Tuhan semuanya aman dan ga ada satupun yang kurang. kita orang cuma denger suara orang nyeret barang aja dan suara tembakan karena ga berani keluar. Daerah glodok kan banyak toko jadinya mereka sibuk ngejarah di glodok plaza dan sekitarnya. So rumah kita-kita aman-aman malah dekat daerah gua.. di tangki ..banyak dari mereka yang membeli barang jarahan karena harganya murah banget.

Wijaya P. ( tinggal di Cikarang )
Iye, gua di cikarang, tapi disini dijagain ama tentara.

Hariyanto ( tinggal di Kebayoran Baru - Jaksel)
Boleh dibilang saya sedikit "beruntung" saat itu tanggal 13-14mei 98 saya tidak sedang bersekolah karena libur baru selesai ujian dari sekolah, dirumah bilangan kebayoran baru Jakarta. Semua anggota keluarga ada di rumah.
Beberapa hari sebelum kerusuhan itu terjadi , di Semanggi dan jalan jalan utama di Jakarta selalu diwarnai oleh demo mahasiswa dan masyarakat yang menginginkan perubahan pemerintahan. Tegang? Pasti. Dari siaran yang radio dan televisi mengabarkan, jika tidak terlalu mendesak, agar tidak perlu melakukan aktifitas di luar rumah, ada apa gerangan di luar sana? Di awali bakar2 ban mobil di jalan raya yang, membuat langit jakarta sekan menjadi gelap, di tambah bergabungnya ribuan masa dengan mahasiswa. Beberapa kendaraan menjadi korban, dibakar masa .entah ide dari mana,Toko, ruko dan rumah sudah mulai dijarah di sebagian Jakarta. Kacau. Aparat keamanan seakan "membiarkan dan memberikan" jalan bagi para penjarah beraksi, yah mungin jumlah mereka tidak sebanding dengan jumlah massa. Tindakan tegas di harapkan oleh masyarakat, tapi mana? Hanya dalam tempo waktu 2 x 24jam, Jakarta sudah dibuat menjadi kota "mati". Beruntung bagi yang bisa mengungsi, lari keluar kota, tapi bagi yang tidak bisa....Pemerintah pun hanya bisa tutup mata, tutup telinga? Sudah 10 tahun pun dalangnya masih bebas.
Nasi sudah jadi bubur. Berdoa dan berharap kejadian seperti itu tidak terulang kembali.

Kurniawan K. ( keluarga tinggal di Gg. Kecap, Pancoran - Jakbar )
Waktu itu gua di Singapur, mengikuti perkembangan peristiwa horor tersebut. Tidak berada di dalam peristiwa tersebut, justru lebih mencekam. Karena media komunikasi (TV, radio dan internet) hanya menyiarkan berita2 buruk. Gua panik banget, padahal situasi mereka di Jakarta tidak separah yang gua bayangkan.
Gua minta mereka hijrah ke Singapura. Landlord gua, sangat baik, bersedia menampung seluruh keluarga gua, jika dibutuhkan. Tapi bokap dengan tegar bilang enggak. Lah, kalo bokap gak mau berangkat, lebih baik semuanya tidak berangkat kan? Jadi gua pasrahkan keselamatan mereka di tangan Tuhan dan dalam perlindungan Bunda Maria. Berkat doa Bunda Maria, Tuhan sungguh menjaga mereka dengan baik.

Arief H. ( kantor di P.Jayakarta, tinggal di Kepa Duri - Jakbar )
Gue pulang kerja dari Pangeran Jayakarta ke Kepa Duri ... ngak bisa lewat Beos, Angke, Grogol .... musti keliling Jakarta dulu via Gunsa, Sunter, Kelapa Gading, Bypass, Salemba, Menteng, Monas, Tomang, finally baru dech masuk gang2 kecil samping TA ke Kepa Duri, dari TA bisa keliatan kalo Grogol dah jadi lautan api. Besoknya gue masih nekad gawe, lewat Angke, banyak bangkai mobil bekas dibakar .... jadi mending pulang aja ....

Wiriawaty T. ( tinggal di Gg. Asem, pinggir tol Kebon Jeruk - Jakbar )
Pas kerusuhan mei, gua ada di Jakarta, ndak berani keluar rumah, gang depan rumah dijaga ketat sama warga betawi (warga sekitar) sehingga orang2 yg mau bikin rusuh tidak bisa masuk. Jaga malam bergantian, pokoknya warga tidak dikenal tidak bisa masuk deh..

Janto T dan Maria S.F. ( Usaha di Jl. Jembatan Lima Raya – Jakbar )

Pada hari Selasa, tgl 12 Mei 1998, aku main Bulutangkis sd jam 23.00 di daerah Pola Bugar ( Kedoya ), Polsek Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sebelum pulang, aku mampir ke Pos Polisi di depan Universitas Trisakti di sebelah pom bensin, karena disana banyak teman anggota Polisi Polsek Tambora. Aku melihat banyak mahasiswa berkumpul katanya ada mau keributan ( bakar pom bensin segala ). Tapi malam itu tidak terjadi apa apa,,,lalu aku pulang ke rumah dengan santai pada jam 02.30.

Pada tgl 13 Mei 1998 , hari Rabu pagi hari yang cerah. Aku memulai usaha seperti biasa pada jam 07.00 di daerah Jl. Jembatan Lima Raya, Jakarta barat,
Usahaku adalah Distributor Benang Bordir “ BOUTIQUE “ dengan karyawan pada waktu itu berjumlah sekitar 8 orang.

Pada jam 10.30 aku mendengar informasi kerumunan massa sekitar Universitas, lalu aku langsung check TV. Perasaanku mulai tidak enak, karena aku ingat sebelum tanggal 12 Mei 1998 ada kejadian di depan toko dan di beberapa tempat lain, yaitu para supir taksi dan Mikrolet M10 jurusan JB 5 – Tnh Abang serta para tukang becak berkata “ LOE CINA ENAK AJA YA...NTAR LOE RASAIN...GUA BANTAI ...RASAIN LUH “ dan ada yang berkata kepadaku, “ EH CINA ...HIDUP LOE CUMA 1 HARI LAGI...SIAP SIAP AJA ...GALI KUBURAN LOE “. Dan ada beberapa yang melapor kepadaku dikatain ” EH LOE CINA...LIHAT AJA BESOK,,,GUA BAKAR LUH RUMAH LOE ,,DAN GUE PERKOSA ( maaf, ini bukan kata sebenar nya, ini sudah diperhalus ) LOE “. Dan juga langganan tukang ojek sepeda aku yang baik hati berpesan” KO... JANGAN KELUYURAN AJA BESOK ...JAGA KELUARGA...YANG CEWEK TERUTAMA “.
Wah kontan pikiran aku bercampur aduk , apa iya ya...akan terjadi sesuatu yang mengerikan ?

Tapi kami semua yang menyaksikan acara TV tersebut merasa tidak akan terjadi apa-apa. Aku juga tenang saja, pikirku masa sih aparat kepolisian dan tentara ( pada waktu itu belum dipisah komando, masih dibawah kekuasan komando tentara) tidak berbuat apa apa. Selain di TV, aku juga melihat sendiri sudah banyak polisi dan tentara yang mengamankan di sekitar Universitas Trisakti ( karena malam hari sebelumnya aku berada disana ).

Pada jam 10.45 ada informasi Pom Bensin di depan Kampus Trisakti dibakar. Aku memantau lewat TV, sambil melayani konsumen. Kontan pembeli yang mendengar info ingin cepat bergegas pulang, dan keadaan di jalanan di jalan jembatan lima langsung sepi. Kendaraan umum dan pribadi berkurang, jarang yang lewat padahal biasanya macet. Wah aku semakin curiga dan was was.
Lalu menyusul kejadian, mahasiswa berorasi dan juga ada Pak Amin Rais berpidato yg waktu itu dianggap sebagai Bapak reformasi.
Para mahasiswa bergerak menuju balai sidang senayan ( gedung hijau bundar ) , dan mereka berkerumunan disana. Belum terjadi apa apa.

Jam 13.00, para mahasiswa bertindak Anarkis…dengan mendorong dan meneriakan yel “ TURUNKAN SOEHARTO“ , dan mereka mendobrak masuk ke balai sidang senayan, dan menguasai seluruh nya termasuk kubah diatas nya, dan ada yang menancapkan bendera diatasnya pada waktu itu terlihat di TV.

Sekitar jam 14.00, kerumunan massa di sekitar Universitas Trisakti mulai bergerak kearah Roxi. Dan begitu jam 15.00 (seperti ada komando yg tidak tahu darimana asalnya), massa langsung menuju daerah Cideng (pemadam kebakaran) dan daerah Komplek Jembatan Lima (yang dekat prapatan arah Roxi)

MENGENANG ..... ROSSON KUSNADI (ALM)

Memperingati 11 tahun Tragedi Kemanusiaan Peristiwa Mei 1998 sama dengan mengenang 11 tahun kepergian rekan kita, Rosson Kusnadi. Saya mempersembahkan jurnal renungan ini secara khusus untuk mengenang beliau yang telah pergi mendahului.

Terus terang saya ga kenal secara pribadi dengan dia, waktu jadi adik kelasnya di SMAK Ricci dulu. Namun saya masih ingat samar wajahnya dengan model rambutnya yg belah pinggir conventional dan berkaca mata. Juga saya ingat, dia pernah menjadi ketua panitia bazar ilmiah di sekolah.

Rosson adalah putra bungsu dari 4 bersaudara. Beliau adalah alumni SMAK Ricci angkatan 87 dan merupakan seorang siswa yang serius, aktif di OSIS, ga usil, ga suka nyontek dan sangat menonjol karena kepandaiannya. Nilai-nilai di sekolah selalu bagus, juga di Universitaspun prestasi Rosson sangat baik terbukti dengan menyelesaikan S1 Akuntansi dengan singkat hanya dalam waktu 4 tahun. Rosson pun mendapat rekomendasi dari Dosen untuk langsung bekerja di KPMG. Dari KPMG, Rosson kemudian mengambil peluang karir di AKR.

Kabar burung yang mau saya ingkari itu ternyata benar adanya, bahwa Rosson adalah salah satu korban penganiayaan pada hari pertama kerusuhan Mei 98. Bermobil sepulang dari kantor, dia dicegat massa dan dipukuli. Kemudian sempat diselamatkan oleh tukang ojek yang mengantar ke rumahnya. Ditengah situasi yang kacau dan penuh ketidakpastian, kondisi Rosson justru semakin kritis, untungnya menjelang sore ada seorang teman pribumi yang berani mengantar Rosson ke Rumah Sakit. Sesampainya di Rumah Sakit Graha Medika, dokter jaga sulit ditemukan dan Rosson yang dicurigai geger otak sudah tidak sadarkan diri. Akhirnya beliau berpulang ke rumah Bapa, keesokan harinya setelah seluruh keluarga berkumpul dan memanjatkan doa.

Seandainya….yah seandainya saja kita mampu memutar balikkan waktu, saya yakin semua dari kita akan berharap tragedi Mei 98 ini ga pernah terjadi. Sehingga …Rosson dan para korban penganiayaan lainnya masih ada disini bersama kita, juga Ita dan para mahasiswa yang tertembak, dan gadis seperti May tidak akan pernah punya mimpi buruk yang menghantui tidur mereka. Tapi karena nasi sudah menjadi bubur basi, luka sudah tergores dalam sejarah bangsa…apakah yang harus kita lakukan selanjutnya? Apa sebenernya harapan rekan kita Rosson dan korban lainnya dari kita sekarang?

Melupakan mereka jelas bukan sebuah opsi. Kita yang telah diberi label sebagai survivor tragedi Mei 98 (entah karena sebuah perjuangan atau sekedar keberuntungan) adalah saksi sepenggal sejarah pelanggaran Hak Asasi Manusia di bumi tercinta ini. Dan seorang survivor sejati akan tetap mengejar masa depan tanpa pernah melupakan kejadian masa lalu, mereka akan belajar dari mimpi buruknya untuk memetik buah-buah kewaspadaan.

Baiklah kita tetap mengenang peristiwa Mei 98 dengan dewasa dan bijaksana. Kita tunjukkan kepedulian kita dalam bentuk sederhana, yang sesuai amanat hati dan keterbatasan kita.

Karena yang terpenting ...............
janganlah kita pernah lupa !
'We survive by remembering....'

Teristimewa untuk keluarga besar Kusnadi (Ibu Rosson, Rosita, Robert dan Pastor Ronny), perkenankan saya mewakili Alumni Ricci Angkatan 89 menghaturkan belasungkawa tertunda yang belum pernah terucap, untuk penghormatan terakhir kepada putra kebanggaan kalian dan kakak kami semua….Rosson.


catatan kecil :
Terima kasih untuk teman2, untuk setiap butir debu yang telah dipersembahkan.
Terima kasih juga untuk rekan Nexon dan para Alumni Ricci angkatan 85-89 yang telah memberi sumbangan waktu, saran dan informasi mengenai Rosson Kusnadi.