NODA NODA MEI
Perkosaan terlepas dari siapapun korbannya adalah tindakan kriminal yang BIADAB. Lalu harus disebut apakah kalau perkosaan itu dilakukan secara beramai-ramai oleh 3-4 orang secara bergiliran ? Dan seperti apakah rasa kemanusiaan pelakunya, kalau ternyata mereka direkrut dengan janji imbalan untuk melakukan perkosaan tersebut ?
Tragedi….Itulah yang terjadi di pertengahan bulan Mei 1998. Noda kejahatan terhadap kemanusiaan yang sampai saat ini mencoreng muka Bangsa
Dan sampai sekarang para korban perkosaan hanya mampu berteriak dalam kebisuan…….” Tuhan, kenapa saya ? “
Kesaksian kasus perkosaan
1. Saksi Pertama: Ibu Farida Gunawan
Pada tanggal 13 Mei 1998 saya berada di Cengkareng, tidak bisa pulang. Sekitar jam 18.00 sebenarnya saya sudah diingatkan agar tidak lewat jalan itu, tapi saya nekat. Benar saja, di Jl. Daan Mogot banyak
Saya menginap di Citra III dan baru pulang hari Jum’at. Pada hari Sabtu, 16 Mei 1998 saya pergi ke RS Graha Medika untuk menengok anak gadis itu. Tetapi mereka tak saya temukan. Saya coba cari ke UGD.Di UGD saya melihat seorang Bapak, seorang ibu dengan anak gadisnya yang mukanya ditutup pakai seprei. Mereka bicara pakai bahasa Mandarin “Kita pulang ke mana?” Mereka mondar-mandir kebingungan. Kemudian saya menawarkan bantuan untuk mengantar mereka pulang, karena pada waktu itu sulit cari kendaraan. Saya tanya mereka “Rumah kamu kebakar?” Mereka mengangguk. Kemudian saya tawarkan pada mereka untuk menginap di rumah saya. Setelah berunding, mereka menerima tawaran bantuan saya dengan janji akan membayarnya kemudian. Saya mengantar mereka di rumah kosong milik saya di daerah Serpong.
Pada Hari Minggu saya datang menengok mereka dan menanyakan apakah ada masalah dengan anak perempuannya. Kalau mau saya bawakan dokter. Mereka setuju saya bawa dokter. Dokter yang saya bawa bersedia menolong, asal dia tidak dilibatkan dalam masalah ini.
Pada hari Kamis, saya mengurus visa untuk mereka. Akhirnya mereka bersama 2 keluarga lainnya berangkat ke
Pada tanggal 2 Juli saya berangkat ke
Tanggal 15 itu saya datang lagi ke tempat mereka. Gadis itu sudah mulai mau bicara, tapi bicaranya sangat keras dan tidak jelas apa yang dikatakannya, karena dia masih juga tidak mau membuka mulutnya. Mulutnya tetap terkatup ketika dia bicara. Sekali lagi saya meminta dia menuliskan apa yang ingin dikatakannya. Dia bukannya menulis, tapi malah memukul-mukulkan pensil itu ke meja. Sementara ibunya kelihatan sudah seperti orang gila, rambutnya gembel dan jarang makan. Kerjanya mondar-mandir dan tangannya gemetar tiap memegang sesuatu. Gadis itu kembali marah-marah, masuk kamar dan mengunci pintu. Ibunya mengatakan kalau anaknya ingin bunuh diri. Pada waktu itu saya sangat marah dan kecewa.. Saya kasihan pada mereka, sebab mereka bukannya tertolong tapi malah menderita. Akhirnya sore itu saya beli racun: racun tikus, baygon dan tali. Kemudian terdengar gadis itu berteriak dari dalam kamar “Kenapa saya!” Saya kemudian menyuruhnya keluar. Dia keluar. Mukanya tidak lagi ditutup seprei. Ibunya berlari hendak menolong tapi malah ditendang. Kemudian saya mengatakan padanya “Makan ini racun. Kamu berhak memilih hidup atau mati. Saya menyesal menolong kamu. Banyak orang antri untuk memperoleh visa, bahkan yang kakinya buntung menyeret-nyeret diri kepingin hidup, tapi kamu malah tidak tahu terimakasih. Biarkan mamamu pulang sama aku. Sebelum kamu mati, bayar hutang kamu. Lihat, ayah kamu kerja jadi tukang rumput di sini. Kamu benar-benar durhaka.” Saya jengkel sekali waktu itu dan tidak tahu harus berbuat apa. Biarlah kalau ada apa-apa saya siap menanggung. Setelah saya berteriak, gadis itu marah, masuk kamar dan kemudian mengunci pintu.
Malam itu saya tidak bisa tidur. Saya khawatir kalau racun itu benar-benar dimakan. Esok harinya sekitar jam 7.00 pagi saya datang lagi ke tempat korban. Ibu gadis itu sudah tidak lagi menangis. Saya lihat racun itu masih utuh. Saya mengetuk kamarnya, tapi kamarnya tidak terkunci. Saya masuk ke kamarnya. Saya lihat kamarnya berantakan, celana dalam ada dimana-mana (di kursi, di ranjang ) , padahal di jemuran sudah banyak celana dalam. Ternyata dia memakai celana dalam rangkap-rangkap. Ketika mandipun ternyata pakai pakaian lengkap (tidak telanjang). Saya melihat tubuh, muka dan tangan gadis itu penuh luka. Mukanya lebam-biru. Dia mau berbicara meski masih dengan mulut terkatup. Dia katakan, kalau ingin ganti nama. Dia juga ingin potong rambut. Saya kemudian ajak dia jalan.
Ketika saya ajak jalan, saya belikan dia hotdog. Dia malah muntah-muntah melihat hotdog yang tengahnya ada sosisnya. Demikian juga ketika melihat mie. Dia ingin makan tapi sulit menelan. Dia hanya bisa makan biskuit. Kemudian saya tanyakan padanya “Apakah kamu digituin pada waktu itu?”.Dia mengangguk. Saya menghiburnya dengan mengatakan, banyak gadis-gadis lain yang juga jadi korban. Dia marah, memalingkan mukanya dan berkata dengan mulutnya yang masih terkatup “Tapi saya lain!” Pada akhirnya dia menceritakan apa yang dialaminya pada saat kerusuhan itu. Dia diperkosa di rumahnya oleh 4 orang pria. Satu orang memegang kaki kirinya, satu orang memegang kaki kanannya, satu orang menindih badannya dan memperkosanya dan satu orang lagi diatas kepalanya, berusaha memasukkan penisnya ke mulut gadis itu. Cairan sprema menetes-netes ke muka gadis itu. Gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat. Saya mengerti kemudian, mengapa dia selalu mengatupkan mulutnya dan tidak mau berbicara.
Sekarang ini gadis itu masih berada di
2. Saksi Kedua: Ibu Een
Dia mengatakan bahwa keponakannya, seperti yang dikatakan trauma, eh alat cucinya (maksudnya alat kelaminnya) mengalami perkosaan. Dia tinggalnya di daerah Kapuk, tapi bukan di Pantai Indah Kapuk. Waktu itu
Jadi saya laksanakan abortus. Sesudah abortus, ketemu dua kali. Anak itu masih
Diskusi:
Penanya: Jadi Ibu kenal ya (dengan korban)?
Saksi:Tidak, hanya Tantenya.
Penanya: Jadi teman ibu itu punya keponakan, katamya diperkosa.
Saksi: Ya, dan tinggalnya di Kapuk.
Penanya: Jadi Ibu Eny belum pernah ketemu dengan anak itu?
Saksi: Oh ketemu, saya yang membawa untuk aborsi.
Penanya: Umur berapa kira-kira?
Saksi: Limabelas.
Penanya: Ditanya ngga bagaimana kejadiannya.
Saksi: Anak itu ngga mau cerita,hanya menyebut: rame-rame gitu aja.
Penanya: Pada waktu itu Tantenya juga ngga tahu kejadiannya ?
Saksi: Ngga tahu.
Penanya: Di rumahnya ngga ada orang ?
Saksi: Rumahnya
Penanya: Menurut Tantenya itu kejadiannya tanggal berapa?
Saksi: Mei tanggal 13.Setelah kejadian itu
Penanya: Rumah tantenya di Kapuk juga ?
Saksi: Bukan.
Penanya: Ibu tahunya bulan Juli ya ?
Saksi: Ya. Dan dimintai tolong untuk abortus,oleh tantenya.
Penanya: Dan diabortus bulan Juli itu ya ? Berarti rumah dokternya, tahu ya ? Itu katanya diperkosa selama berapa lama? Dan oleh berapa orang ?
Saksi: Berapa lama ngga tahu, tetapi (dilakukan) (ber)ramai-ramai.
Penanya: Masih sekolah dimana ?
Saksi: Di daerah Kapuk itu. Di (sekolah) negeri. Kayaknya masih SMP.
Zulkarnain: Mungkin ada kerusakan, pendarahan?
Saksi: Ngga tahu. Tantenya ngga cerita begitu.
Penanya: Waktu itu masih ada orangtuanya, bapak ibunya?
Saksi: Hanya mamanya. Papanya sudah pisah.
Sri Hardjo: Jadi kejadiannya di rumah ya? Apa rumahnya nggadirusak atau dijarah ?
Saksi: Ngga Pak, orang susah soalnya.
Sri Hardjo: Oooh orang susah …
Penanya: Jadi sekarang ngga bisa ditelusuri jejaknya?
Saksi: Ya.
Sri Hardjo: Yang penting, Ibu sudah ketemu, bukan hanya denger ya bu, tapi bener ketemu.
Gelgel: Waktu di-abortus itu sudah berapa bulan?
Saksi: Begini Pak. Waktu itu saya tidak bawa anaknya, datang ketemu dokternya.Saya ngebohong, mungkin karena ada yang ngajarin juga ya…jangan bilang kasus(baca: kasus kerusuhan), tapi pergaulan anak-anak terlalu bebas. Tapi waktu saya bawa anaknya, dokter itu tahu bahwa ini bukan (karena) pergaulan. Dokter panggil saya lagi, dia tanya saya. Dokter, saya minta maaf ya, karena saya terpaksa ngebohong, karena takut dokternya ngga mau.Jadi menurut dokter, ya sekarang sudah saya bantu. Jangan sampai hal ini terjadi.
Gelgel: Bagaimana dokternya bisa tahu ?
Saksi: Mungkin karena lihat anaknya (kelihatan) lain.
Penanya: Ibu ini bersaksi, Tantenya itu tahu ngga ?
Saksi: Kaya’nya ngga ya. Karena Tantenya menekankan pada saya, kamu jangan terlalu inilah, tolonglah saya, karena
3. Saksi Ketiga: Ibu Edith Witoha
Memang saya menangani mereka, tetapi kalau saya ditanya seperti Bapak menanyakan itu tadi, saya tidak bisa menjawab, dan saya tidak mau menjawab, karena saya tidak boleh menjawab. Misalnya ditanya nama, saya tahu nama, alamat saya tahu, dimana mereka berada saya tahu. Tapi saya tidak boleh membuka. Karena saya adalah seorang konselor, dokter dalam bidang konseling, yang terikat sumpah.
Tetapi saya mengatakan bahwa korban itu ada, saya menangani 3 orang..ketiga-tiganya hamil. Dua digugurkan dan satu keguguran. Dan salah satunya adalah anak berumur 14 tahun. Dan salah satu akibat dari perkosaan itu adalah ketiga-tiganya agak – seakan-akan—pikirannya hilang, tetapi yang paling nyata adalah anak yang berumur 14 tahun ini menjadi gila, agak gila. Tapi karena penanganan saya bukan secara psikis saja, tetapi penanganan secara kerohaniaan. Jadi waktu mereka datang pada saya, bukan pada hari yang sama, pada bulan Juli. Dan saya tangani secara kerohanian dan dari situ, dari cerita mereka yang membawa, pendamping mereka, Ibu mereka, saudara mereka, mereka ini adalah korban tanggal 14 Mei.
Yang satu diperkosa di rumahnya yaitu anak ini (14 tahun). Yang satu diperkosa di rumah calon suaminya. Yang satu diperkosa ditengah jalan,. Tetapi ketiga-tiganya hamil semua, dan pada waktu didoakan (karena ditangani secara kerohanian) terjadi manifestasi yang tidak sama dengan manifestasi pada orang yang diperkosa secara biasa.
Jadi entah itu karena pergaulan bebas, atau apa, lain sekali manifestasinya. Dimana gerakan-gerakan tubuhnya seakan-akan ada yang tidak jelas. Pengulangan kejadian itu, terjadi lengkingan-lengikingan yang sangat menakutkan, sehingga tanpa diberitahu bahwa mereka diperkosa, kita bisa tahu kok bahwa mereka adalah korban. Jadi saya tahu identitas mereka, satu yang anak yang umur 14 tahun saya kirim keluar dari Jakarta, saya sendiri yang mengirim, saya suruh keluar dari Jakarta. Yang satu masih di
Jadi itu yang bisa saya berikan. Sebagai seorang konselor saya tidak boleh membuka rahasia itu, saya tidak bisa berikan nama, alamat. Identitas umur bisa saya berikan. Kira-kira begitu. Kalau dibilang mereka semua dari keluarga berada, itu ngga, terutama anak kecil itu dari keluarga yang sangat-sangat tidak punya. Hanya satu yang berasal dari keluarga berada, sangat kaya, yang diperkosa di tengah jalan itu. Pelaku yang memperkosa yang di tengah jalan rapi pakaiannya, rapi tapi seperti orang Batak, gelap pekat, berkeringat, dan bau alcohol, dua orang. Waktunya sekitar gelap menjelang Maghrib, gelap-gelap terang.
Diskusi:
Sri Hardjo: Terima kasih untuk informasinya. Saya mau tanya…
Saksi : Kalau diinterogasi saya ngga mau.
Gelgel: Apa yang saya ketahui, belum tentu dapat diyakini oleh orang-orang. Sebenarnya Tim Pencari Fakta ini
Saksi: Mungkin karena Bapak dari kejaksaan, jadi sampai alamat Bapak menanyakan.
Penanya: Ada tiga korban, satu 14, tahun,yang satu 32 tahun, yang satunya lagi 28.Nah yang masih di Indonesia yang mana Bu ?
Saksi: Yang 14 dan 32.
Gelgel: Bisa ngga korban menceritakan bagaimana kejadiannya ?
Saksi:
Bisa, karena didampingi oleh keluarga mereka dimana mereka mendengar dari korban sendiri. Dan korban pun bisa diajak bicara, jadi dia bisa menceritakan. Kalau yang 28 itu dia dalam pulang dari suatu tempat, melewati jalanan yang dia tidak tahu keadaannya, naik mobil. Kemudian diberhentikan oleh dua orang itu, lalu langsung ditarik keluar. Supirnya tidak bisa ngomong apa-apa, karena dia diancam oleh yang lain. Kemudian waktu dia dijatuhkan dan diseret dari mobil, kemudian dia ditelanjangi di situ, dan akhirnya dia pingsan. Sekeliling dia teriak-teriak semua seperti orang yang melihat suatu kejadian dan mereka suka, tepuk tangan teriak-teriak.
Yang satunya, yang berumur 32 itu mungkin lagi sial, dia datang ke rumah calon suaminya, justru rumah calon suaminya dijarah, dan justru dia diperkosa disitu. Jadi calon suamnya tahu itu. Dan yang paling mengerikan adalah anak yang 14 tahun ini. Ibunya tidak ada waktu itu, cuma ada dia dengan adiknya berumur 8 tahun laki-laki. Dan waktu diperkosa oleh banyak orang, dia (adiknya) bilang adiknya musti lihat, musti nonton. Sehingga kata-kata yang dikeluarkan waktu itu ya cuma ngomong “ lu jangan ngomong-ngomong, lu jangan cerita-cerita “. Jadi anak itu masih punya rasa malu kalau adiknya bercerita begitu.
Ibunya waktu kembali kira-kira pukul sebelas malam dia menemukan dua anak itu dipojokan, dengan darah dimana-mana. Yang karena dia tidak mampu, ya mereka tidak membawa ke dokter, mereka hanya membersihkan, dan diberikan obat-obatan Cina biasa untuk menghentikan pendarahan, tetapi ternyata kemudian anak itu kemudian gila, dia tidak bisa ngomong apa-apa selain dia mengatakan “Jangan ngomong-ngomong”, terus begitu.
Dia mengalami trauma, ketakutan begitu. Pada waktu dibawa ke saya, dalam keadaan ngga waras.Semua keluarganya di
4. Saksi Keempat: Ibu Hanna
Yang pertama, kawan saya sendiri, kenalan saya suka ketemu di salon. Tapi dia dari keluarga berada. Dalam perjalanan ke Airport, tanggal 14 sudah agak gelap, dengan suami. Bermobil dengan sopir. Sebelumnya dipesanin, kalau ketemu banyak orang, kasih uang saja, terus ditabrak aja. Untuk menghadiri wisuda putranya. Dihadang banyak orang, tapi suaminya mungkin karena banyak orang, jadi tidak berani buka jendelanya, jadi mobilnya ngga bisa jalan lagi, lalu berhenti. Dan kemudian istrinya dibawa keluar (oleh pemerkosa), dibawa kepinggir, kaya kubangan, nah disitu beberapa orang dia ngga bisa bilang persisnya, antara 3-4 orang, dia juga ngga bisa tahu karena sesudah itu semuanya memar, habis. Dan suaminya juga tidak berdaya, sesudah kejadian dia tergeletak, suaminya dipukuli. Kemudian ada satu orang besar, ngga tahu dia bawa apa karena dia sudah ngga berpakaian, ada kain dan badannya ditutupi kain. Dia dibawa, suaminya juga minta tidak diantar ke rumah, tetapi ke rumah saudaranya. Terus pagi-pagi buta mereka dibawa sama mobil sayur, diantar ke airport, hanya bisa dapat plane ke Kualalumpur. Nah sampai di
Kalau yang lain, terjadi di daerah Cengkareng, mereka akhirnya mengungsi ke dekat Airport, ada perumahan. Anaknya 4 perempuan satu laki-laki. Semua dari umur 12 sampai 26 tahun, sama satu anak angkat. Pada waktu diserang, karena toko kaca, kacanya dihancurin dulu sama sekali. Dan mereka bersembunyi di atas. Lalu mereka dipaksa turun, “Ayo Cina-cina!” Itu perempuan-perempuan muda soalnya, Ibunya sih ngga diapa-apain. Ibunya ada, bapaknya ada. Adik Ibunya laki-laki umur 42 tahun, ia akhirnya kembali ke rumah karena mau ambil
Kalau yang saya dampingi ialah (peristiwa) paska Mei , Anak yatim piatu, kost, diserang oleh tiga orang di rumah kostnya. Dia ingetnya dia dibekap, yang dua megangin ada besi siku, untungnya nusuk ke sebelah kanan, jadi pecahnya itu saluran kencing, dekat ginjal. Kejadian siang jam 2, tapi sudah lewat, dia baru pindah, dan umurnya 20 tahun. Karena dia tinggal sendiri, dan memang kos-kosan, dan tidak mengunci pintu, rame-rame tidak tahu apa, terus rasanya dia pingsan, dia bilang. Sekarang anaknya tidak apa-apa, sudah pulih sekarang dan dia punya pacar. Dia bilang ngga dengan alat kelamin, tetapi dengan besi siku. Besi sikunya dua, satu masuk ke sini dan ditusukin ke sini, jadi sampai sekarang di sini masih sakit, dan dibawa ke klinik gawat darurat, kejadiannya di Sunter. Dibuka dari puser ke bawah memang agak ruwet, dan akibatnya ada pelengketan-pelengketan dsb.Jadi memang sangat rumit. Kita sudah bawa dia ke luar, ke Singapura. Sebab tidak mungkin, kalau secara psikis, secara kejiwaan cukup oke keliahtannya,dia bisa ditanya. Cuma keadaan ininya yang serem.
Diskusi:
Penanya: Kalau saya simpulkan ada tiga kejadian. Tanggal berapa kejadiaanya ?
Saksi: Tanggal 14 Mei, di jalan menuju Cengkareng. Karena mereka mau pergi wisuda anaknya.
Penanya: Tidak jadi berangkat ?
Saksi: Ya. Dan pagi-paginya mereka dibawa dengan mobil sayur itu tadi. Saya juga ngga tahu darimana,
Sri Hardjo: Mereka tujuan awalnya kemana ?
Saksi: Ke State ya..
Gelgel: Istrinya juga ikut ke KL ?
Saksi: Oh iya, sekarang ini dia lumpuh, ngga bisa, karena bedahnya harus bedah pakai mikroskop. Waktu itu ngga bisa langsung dikerjakan. Terus di sininya itu, bengkaknya besar sekali, dan itu yang dirawat.
Gelgel: Mereka itu, suami-istri usia berapa ?
Saksi: Suaminya saya ngga kenal, istrinya antara 43-45 tahun, soalnya anaknya yang paling besar sudah wisuda, ya.
Penanya: Memang menetapnya di
Saksi: Oh iya.
Gelgel: Akibat dari perkosaan itu bagaimana?
Saksi: Waktu itu dia sih agak ini ya, cuma sekarang agak pulih. Hanya karena kenal baik saja kebetulan ya, jadi saya cerita sekali aja, terus sekarang sudah oke sih ngga apa-apa, kaget aja dan takut, dsb.
Gelgel: Kira-kira berapa orang yang .. ?
Saksi: Menurut dia antara 3-4 orang. Karena dia seperti mau tenggelam ya… rasanya. Itu
Gelgel: Lalu berobatnya itu di mana, di Indonesia atau di KL ?
Saksi: Waktu itu di
Gelgel: Sekarang Ibu masih ada hubungan ke kawan Ibu itu ?
Saksi: Masih ketemu-ketemu ya, kelihatannya ngga apa apa, tapi hati orang kita ngga tahu ya.
Gelgel: Ya artinya orangnya trauma gitu…?? Pergi keluar negeri, menetap di ..
Saksi: Ngga,suaminya juga tegar sih ya. Ngga tahu sih (baca: tidak tahu mengenai trauma atau tidaknya), beberapa hari itu ketemu.
Gelgel: Gimana ceritanya Bu, yang sekeluarga itu ?
Saksi: Tanggal 14 itu juga, tapi mereka tidak sampai terjadi perkosaan, tetapi mereka sudah diserang. Tetangga dari kampung belakangnya, ibu Haji itu luar biasa (membantu,sambung Gelgel).
Gelgel: Tadi yang gerayang-gerayang itu, gimana ?
Saksi: Itu di rumah itu, di toko kaca itu. Kebanyakan mereka tinggal di atas, di belakang pokoknya seadanya, yang penting usaha, bisanya cuma itu.
Gelgel: Rumahnya dibakar ya ?
Saksi: Ya,habis.
Gelgel: Disitu ada yang meninggal ya?
Saksi: Adik istrinya, dia sudah keluar, kembali lagi, mau ambil
Gelgel: Jadi tidak diperkosa ?
Saksi: Waktu dijarah itu kebanyakan
Gelgel: Yang ketiga bagaimana ?
Saksi: Yang ketiga, paska Mei ya. Saya ketemunya juga sudah lewat waktu jauh. Saya hanya mengantar ke RS Pluit untuk diperiksa lagi mengenai pelengketan. Dan pada waktu itu ginekolognya berkata, ini anak diperiksanya tidak bisa, karena saluran kencingnya pecah, disambungin dengan pipa, dan pipa itu sebulan kira-kira, setelah itu harus dikeluarkan. Nah, pada waktu mau dikeluarkan, dia sangat kaku tegang. Maka dia harus dibius, baru bisa dilakukan pemeriksaan.
Gelgel: Sekarang keadaannya bagaimana ?
Saksi: Menurut kami oke, karena dapat laporan mingguan dari Singapura. Jadi disitu dia tinggal di keluarga, ada psikolog yang menangani pemulihan pendampingan. Dan ada dana sehingga dia bisa ikut kursus. Hanya itu aja.
Sri Hardjo: Itu dana, dia sendiri atau ?
Saksi: Bukan, sebetulnya dana itu dari Singapura. Bukan dari saya sendiri, bukan dari korban. Soalnya korban,
Sri Hardjo: Kontak berapa kali sebulan ?
Saksi: Mereka kasih progress report, karena komitmen yang disediakan sekitar 3 tahun. Karena rata-rata teori, ibu ini mungkin lebih tahu (maksudnya: Ibu Edith), konseling psikologi itu komitmennya 3 tahun, pemulihan tahap awal.
Sri Hardjo: Kalau yang kedua itu, yang di Cengkareng, sekeluarga itu kenal atau ?
Saksi: Kenal, saya sebagai Tim Relawan
Sri Hardjo: Maksudnya dari awalnya sudah kenal ?
Saksi: Ngga, ya di RS itu.
Sri Hardjo: Saat ini sudah kembali ke rumahnya ya ?
Saksi: Ya, hanya ada beberapa psikolog yang kita contact untuk mendatangi mereka, jadi mereka bisa dateng-dateng.
5. Saksi Kelima: Ibu Emny
Korban yang saya dampingi diketemukan oleh 2 orang ibu, dikategorikan korban kerusuhan Mei, ditemukan dalam keadaan pakaian minim, hanya pakai celana dalam, dengan badan yang babak belur kebiru-biruan dan mata yang bengap, dan kondisi korban sangat labil. Pada saat ditanyakan nama dan usia, dia menjawab dengan sangat susah. Omongnya susah sekali. Kita tidak menanyakan pada korban apakah korban perkosaan, tetapi dari ciri-ciri tubuh dan kondisi yang labil, kami bisa mengartikan bahwa ia mengalami penganiaayaan. Karena dari tubuh dan mukanya kelihatan biru-biru dan bengkak. Lalu korban tsb sekarang sudah mulai bisa berbicara, dan memilih-milih orang yang harus dipercaya, baru dia mau bicara. Dan kebetulan dia hanya mau berbicara dengan dua orang, termasuk saya. Dan waktu itu ada beberapa dari TGPF bertemu dengan korban. TGPF sendiri mengakui bahwa korban sulit diajak bicara, dia berbicara beberapa kali pada saya, dan mengatakan bahwa vaginanya sakit lalu dia mengatakan selama beberapa kali bahwa dia disergap oleh beberapa orang.
Kadang ia mengatakan orang jahat kadang ia mengatakan polisi, jadi kami tidak jelas ia disergap oleh siapa. Lalu kondisi lain, dia sangat takut pada laki-laki. Waktu itu sudah kami buktikan, karena ada seorang dokter yang mengatakan bahwa sudah saatnya dia diajak keluar untuk week end, saya mengatakan saya tidak menyetir sendirian, saya membawa suami saya, karena supir saya tidak masuk hari Minggu. Lalu saya katakan bahwa saya pergi bersama suami saya, karena suami saya yang menyetir. Karena kami pernah trauma, dia kabur dari mobil, saya tidak berani tanpa orang laki-laki. Dan saya kemudian pergi bersama dengan suami dan kakak suami saya. Begitu di luar, dia bilang dia mau pergi berempat, tetapi begitu sampai di pagar, dia kenalan sama suami saya, dan kakak suami saya (laki-laki), tapi dia memalingkan muka dan ketakutan sekali. Dia katakan, “Iik (dia memanggil saya Iik) saya tidak mau pergi.” Saya tanyakan apakah dia takut, dan ia mengiyakan.. Akhirnya (kami) tidak jadi pergi, tetapi suami saya kemudian membelikan siomay.
Kalau hanya ada saya, dia mau cerita banyak, kalau saya pergi dengan Tim Relawan beramai-ramai, dua atau tiga orang, sekalipun perempuan, dia akan gelisah sekali. Dia mau bicara dengan orang yang dianggapnya aman. Waktu baru ditemukan pernah dites untuk mengambil visum dokter. Pada saat dites jadi - maaf ya – kangkang gitu, ada seorang dokter atau mantri yang brewokan dan hitam (warna kulitnya) lewat, dia langsung spontan bangkit berdiri dan dia sampai saat ini akhirnya tidak mau diperiksa, dan selalu mengatakan vaginanya sakit. Dan beberapa minggu kami memberikan softex (pembalut khusus wanita), bukan karena mens, tetapi dia memang mengeluarkan darah cukup lama – saat ini sudah ngga (lagi). Waktu itu selama hampir sebulan mengeluarkan darah terus dan dia katakan ‘sakit’ terus. Dan selalu kami tes beberapa kali, sergapannya dimana ? Dia selalu memegang tangannya – yang memang biru memar. Dan kalau saya tanyakan (dilakukan) oleh siapa, dia selalu menjawab dengan kadang-kadang orang jahat, kadang-kadang polisi, jadi kami masih bingung. Tapi itulah kondisinya saat ini, masih sangat…jadi kalau saya mengajak dia mengingat kembali peristiwa itu, dia selalu mengatakan, “Iik, sudah dulu ya,” sambil memegang kepalanya, melanjutkan, “Yang sudah, sudah.”
Jadi korbannya saat ini labil sekali, tetapi sekarang ini sudah agak lancar bicaranya. Tetapi yang pasti dia pilih-pilih orang. Dan saya menemukan catatan, dia menulis: kerusuhan, kebakaran. Dengan begitu, nampaknya ia mengalami itu (mengalami apa yang ditulisnya, pen).
Diskusi:
I Made Gelgel: Itu korban memang sudah lama dikenal ?
Saksi : Saya belum pernah mengenal korban sebelumnya.
I Made Gelgel: Ceritanya bagaimana kok bisa mengenal korban ?
Saksi :Korban diketemukan di kegelapan, antara malam dengan subuh,
I Made Gelgel: Dimana?
Saksi : Di Sunter.
I Made Gelgel: Waktunya ?
Saksi : Setelah kerusuhan
I Made Gelgel: Tanggalnya berapa, tanggal 13, 14, 15 ?
Saksi : Tanggal 16 Mei, dan kami sudah menyelidiki, Pak.
I Made Gelgel: Rumahnya dimana ?
Saksi : Sampai sekarang kami……..
Dipotong oleh Gelgel: “Cerita Ketemunya bagaimana ?”
Emny: “Jadi……... “
Dipotong oleh Gelgel: “Biasanya
Saksi : “Jadi dia diketemukan dalam keadaan dengan pakaian minim, sedang digerayangi oleh beberapa kuli bangunan (……ooh, sahut Gelgel) dipegang payudaranya, dipegang-pegang bagian kewanitaannya, dari atas sampai bawah, malam-malam, tapi badannya sudah dalam keadaan memar biru sekujur badannya sampai ujung jarinya. Sampai sebulan lebih tandanya masih ada.
Diinterupsi Gelgel: Rumahnya ngga tahu ya ?
Emny: Dia cuma sering….
Gelgel memotong lagi: Dia ngga cerita soal rumah,alamat, keluarga, orangtua?
Emny : Sekarang dia sudah mulai ingat. Pernah kita tes, dia bilang Sunter. Kita bawa kesana bersama beberapa rekan dari Tim Relawan ke Sunter, dan dia menunjukkan satu Bank, dan kita puter-puterin, bener ngga yang dia katakan itu. Dan ternyata dia benar dia tetap ingat bahwa rumah makan sebelahnya salah satu bank. Waktu saya sampai di tempat tersebut, saya datang ke rumah makan itu, dan saya tanyakan, kenal ngga dengan orang yang di mobil itu. Yang punya, kaget sekali melihat wanita itu memang sering berkeliling di Sunter. Lalu saya menanyakan dia ke Bank itu, dan Bank itu kaget juga, karena dia nasabah yang baik, dan selalu berpenampilan rapi, cantik. Ya memang cantik korban ini, dan pokoknya korban ini baik, nasabah lama mereka tapi saya tidak kasih tahu kalau dia kenapa, cuma mereka shock melihatnya. Jadi orang sekitar yang mengenal orang ini kaya “blank”.
Gelgel: Jadi sejak kejadian itu sampai tanggal 16/17,dia berkeliaran ya, lalu langkah apa yang dilakukan ?
Emny: Jadi Ibu itu dibawa ke Posko relawan di daerah Jakarta Timur, kemudian salah seorang relawan menghubungi rumah aman, nah di situlahkami Tim Relawan melayani dia sebagai pendampingnya.
Gelgel: Apakah kemudian, setelah dia mulai tenang tidak dilacak alamat aslinya. Apa tidak ada upaya kearah itu ?
Emny: Ya ada, tapi
Gelgel: Apa dari ceritanya bisa ditelusuri misalnya dilihat-lihat atau bagaimana ?
Emny: Ya belakangan ini dia sering, dulu waktu baru ketemu,dia selalu bilang vaginanya sakit dan kami menemukan darah. Memang itu bukan menstruasi, tapi belakangan ini kira-kira tiga mingguan yang lalu dia bilang disergap dia pegang bagian yang pernah kami lihat memar. Dan dia tidak bilang kesemua orang bahwa dia disergap, hanya pada saya, dan dia selalu mengidentifikasikan saya dengan tantenya, dia mau menerima saya mungkin (karena) ia lihat kulit kami sama (warnanya).
Gelgel: Jadi sampai sekarang belum tahu alamatnya ?
Emny: Belum, kami sudah melacak beberapa tempat, dan dia bilang masih belum kelihatan jelas. Saya ketemu di tempat yang saat ini, dan(bisa) lebih (di)jelas(
Ita: Jadi memang tidak mudah bagi Bu Emny, ….. (tidakjelas)
Emny: Tapi kalau dia sudah mengatakan bahwa dia disergap dan dia lihat badannya itu, saya perhatikan kelihatannya dia seperti ‘blank’ lagi, padahal hari ini dia fit saat bercerita begitu. Lalu pendamping yang di
Gelgel: Sekarang Ibu sudah tahu, namanya siapa? Artinya kalau kepada kami dirahasiakan, apakah Ibu sudah tahu? Karena dia (pihak bank, maksudnya) bilang dia nasabah kami dan itu
Ita: Sudah tahu, tapi alamatnya belum jelas.
Emny: Sudah kami datangi, tapi bank itu tahu alamat yang lama, alamat KTP. Sementara dia sudah pindah dari alamat itu, kita sudah cek, dia sudah pindah….. (tidak jelas). Dia adalah karyawati. Kalau di KTP nya sih dibilang single, dan kelihatannya orang
Sri Hardjo: Jadi sampai sekarang belum pernah ketemu keluarganya ya ?
Emny: Belum. Dia bilang mau ke Kalimantan, mau ke
Gelgel: Darimana Ibu menarik kesimpulan bahwa itu korban kerusuhan 13, 14,15 Mei, dia
Emny: Karena saya cukup lama mendampingi sang korban, saya melihat dari ceritanya dari mulai labil sampai memorinya ingat. Misalnya contohnya begini, beberapa waktu yang lalu seorang Romo memperlihatkan seorang anak berusia 15 tahun, maaf… dengan pentil susunya digunting dalam keadaan berdarah dihadapkan pada Mbak Ita, itu tanpa bercerita kita pun sudah tahu dia adalah korban perkosaan. Nah inipun seperti itu dia tak berkata kalau dia diperkosa tetapi pada saat pertama diketemukan, dengan adanya darah dan tanggalnya beberapa hari setelah tanggal 15, dan diketemukan pun sudah dalam keadaan biru, terus bukannya para kuli kasihan karena melihat memar-memar, malah digrayang-grayang dan dia selalu mengatakan pada saya ‘vagina saya sakit’, dan memang ada darah, dan terus begitu. Karena saya dua-tiga hari sekali datang ke orang ini, dan sekarang belakangan ini dia mulai cerita bahwa memang pada waktu itu dia disergap. Kalau saya tanya disergap sama siapa, dia selalu menjawab ‘oleh orang-orang jahat, bukan orang, tetapi orang-orang jahat’.
Ita: Ketika diajak keliling untuk melihat-lihat, setiap dia melihat bangunan-bangunan yang hampir roboh, dia menangis, dan dia tulis dibuku hariannya: kerusuhan, kebakaran. Menurut saya, kalau dia tulis begitu, berarti dia hadir pada saat itu terjadi.
Sri Hardjo: Buku hariannya itu dia masih punya ?
Emny: Nah itu waktu dia mau melarikan diri, karena mau tetap (pergi) ke tempat kost-nya di Sunter, tapi dia lupa persisnya di sebelah mana, karena dia labil
Sri Hardjo: Alamat tempat kostnya ada ?
Emny: Tempat kost dia menyebutkan Sunter, tapi tidak jelas Sunter mana.
Sri Hardjo: Bisa ngga dia cerita kejadian apa yang dia alami ?
Emny: Saat ini dia cuma bisa cerita disergap itu. Sudah ada kemajuan (sekarang), dan kadang saya tidak berani nanya, gimana ya kasihan kalau trauma lagi. Saya melihat saja nangis, gimana saya mau nanya
Sri hardjo: Ya bertanyanya, tidak seperti interogasi?
Emny: Cerita disergap itupun kalau kita sedang berdua, cerita-cerita, pegang kepalanya, terus berkata “Udah dulu ya Iik, yang sudah, sudah”, dia bilang begitu.
Gelgel: Hal yang paling berat ialah mencari data untuk meyakinkan orang, bahwa perkosaan itu ada, gitu lho. Sementara dari hari ke hari pemberitaan di media elektronika, ucapan-ucapan pejabat kemarin itu meragukan, dan sekarang kejadian itu harus ada dipegang yang konkret, bagaimana ada wanita kok alamat tidak ada, identitas seminim mungkin, karena itu korban kerusuhan atau jarah saja atau korban perkosaan kita belum bisa menarik kesimpulan ke arah itu
Sri Hardjo: Begini, Bu. Ya, saya terimakasih. Ini
Gelgel: Di Jakarta ikut orang tua atau bagaimana ?
Emny: Kost di Sunter itu dia bilang.
Gelgel: Keluarganya di Kalimantan Barat ya ?
Emny: Ya, Ibunya sudah meninggal, dia tidak tahu ayahnya dimana. Dia hanya dua bersaudara, kakak laki-lakinya di Bogor tapi tidak tahu(persisnya) dimana. Alamat yang dicari dari KTP, tapi KTP-nya juga sudah kedaluarsa.
Zulkarnain: Bagaimana waktu diketemukan ?
Emny: Biru-biru.
Zulkarnain: Maksud saya, badannya kotor atau baru atau bagaimana ?
Emny: Itu yang menemukan dua orang. Yang menemukan bukan saya, tetapi dua orang ibu.
Ita: Bu Emny adalah pendamping yang dipercaya sampai sekarang oleh korban. Kami dari tim relawan tidak dipilih, korbanlah yang menentukan. Tapi pada saat pertama yang menemukan adalah TR…… (tidak jelas).ditemukan sedang dikerumuni sekelompok laki-laki/
Emny: Dan dia bilang rata-rata 3 kali sebulan ke salon. Jadisaya mengambil kesimpulan bahwa dia bukan gelandangan. Ketika saya tanyakan untuk apa ke salon, dijawab untuk creambath, cuci muka. Salonnya dimana ? Di Johnny Andrean.
Gelgel: Pengecekan di tempat kostnya, ada yang kenal ngga ?
Emny: Yang kenal itu ya rumah makan (pemilik) tadi. Dan orang di BCA tadi. Mereka kagetnya luar biasa waktu melihat kondisinya. Ngga menyangka.
6. Saksi Keenam: Ibu Palupi
Kemudian pada malam hari pukul 11.00 mereka sudah bersedia bertemu dengan beliau-beliau ini. Sang anak yang berumur 28 tahun itu sangat menggigil. Giginya gemetar, kakinya juga gemetar dan sudah tak dapat berkomunikasi lagi. Ini dimulai ketika dia turun dari bandara. Melihat penjemput begitu banyak, anak ini langsung mencengkeram-cengkeram pendampingnya. “Aduh saya takut, ini ada kerusuhan lagi,” dia bilang begitu. Sebetulnya acara hari Minggu mereka mau jalan-jalan dulu, tetapi ketika di Bandara kondisinya seperti itu, mereka urungkan, ngga jadi keluar. Saya di rumah saja saya takut, jadi dokternya memberi obat penenang. Ketika gigi dan kakinya gemetar, kemudian Ibunya ketika melihat anaknya seperti itu, dia bilang lebih baik besok saya saja yang ngomong, anak saya ngga usah ngomong, anak saya ngga usah, kasihan dia masih gadis. Si ibu ini mondar-mandir keluar kamar, kemudian mengatakan besok apa saja yang ditanyakan, dan kelihatan sekali si Ibu juga mulai persis seperti anaknya.
Mereka diperkosa pada tanggal 14 Mei 1998, jam sembilan malam, karena kejadian itu (baca:kerusuhan) di Surabaya itu malam. Ibunya diperkosa oleh 6 orang, anaknya diperkosa oleh 4 orang. Ibunya umur sekitar 50-an, pada waktu itu mereka dijemput IDI di belakang lemari. Ketika kerusuhan itu rumahnya dijarah habis, kemudian yang terakhir itu tidak menemukan apa-apa dan lemari digulingkan. Yang nolong tetangganya, diberi baju karena mereka telanjang. Oleh aparat yang datang kemudian, aparat ini bilang, “Ke tempat kami saja, ke kantor, Koramil atau mana… saya tidak tahu.
Kemudian dijemput kakaknya, jadi anak laki-lakinya. Ibu ini mempunyai tiga anak, yang satunya perempuan dijemput dan dibawa ke Depkes, yang di penginapan ketemu oleh Ibu Saparinah dan Ibu Nursyahbani.
7. Saksi Ketujuh : Ibu dr.Didie
Didie: Apakah dengan tanya seperti itu, ada nilai lebih dari victim-victim saya ? Atau cuma gitu aja, maksudnya ada nilai lebih, itu apa ada gunanya.
Sri Hardjo:
Saksi: Saya lebih mikirin victim-victimnya daripada pahlawannya. Saya kerja di suatu klinik, suatu unit pre-natal. Pada hari Jumat, saya kedatangan dua orang perempuan, anak dan ibu. Satu ini namanya Liana, mahasiswi.
Pada waktu itu saya nggak sadar kalau ada perkosaan. Saya juga jadi korban penjarahan dan pembakaran. Cuma saya mikir, pasien yang datang ini lain sekali dengan pasien-pasien biasanya. Mereka masih stress gitu. Akhirnya saya kaget setelah melakukan pemeriksaan sendiri. Saya temukan masih ada cairan sperma dan dari cairan itu (on the spot) saya melihat ada 3 motilnya. Tapi setelah kering tampak ada 5 motil. Ini berarti anak ini telah diperkosa sedikitnya oleh 5 orang.
Terus saya ketakutan dua hari, saya telepon Oom Gerry, “Oom gimana nih ?” (Dijawab) “Udah deh Cina-cina jangan ikut-ikutan, hancurin semua.” Jadi itu saya hancurin, saya buang ke sampah semua, kalau ngga, masih bisa diperiksa, sperma kering itu bisa, tapi sudah ngga ada, karena saya takut, saya telepon dokter saat itu, dibilang buang aja, sekarang ini gawat. Menurut anak itu kemarinnya dia disergap oleh tiga belas orang.
Setelah yang pertama itu datang lagi yang lainnya tapi nggak berurutan. Tetap bulan Mei, ada yang datang pada bulan Juni. Yang jelas ada 7 pasien korban perkosaan yang saya periksa dan 8 pasien lain yang hanya datang sekali, saya tidak hafal siapa mereka.
Saya coba untuk ketemu orang-orang lain, maksudnya orang Melayu, bukan orang Cina, Di antara korban ada yang namanya Titin. Dia tanya saya “Tante gimana?” Saya jawab, “Ngga usah takut. Janda saja laku kawin, kamu cakep-cakep, operasi plastik juga jadi perawan.” Sebab saya ngga tahu gimana arahnya pembicaraan itu. Tapi yang terakhir saya bawa ke rumah makan
Tapi saya bukan psikolog jadi saya gitu aja, ngga ngerti mereka diperlakukan bagaimana. Saya ajak jalan, saya ajak makan, orangnya sih semua ada, jadi kalau mereka temuin saya, saya ngga mau kalau nanti telepon saya disadap, saya kasih hand phone, setiap kali mereka mau ketemu, saya dihandphone, biasanya Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu. Jadi mereka selalu hand-phone saya, saya bilang kamu ada di daerah mana, di daerah Sunter atau di mana nanti kita carikan yang terdekat, biasanya ke mall, terus ketemu, makan, tapi ngga selalu saya tanya lho, karena kejadian ini… karena saya seperti temen sama mereka dan sisanya sampai sekarang yang deket tujuh, tadinya lima belas, tapi yang delapan ngga mau. Hanya tinggal tujuh saja.
Palupi: Mungkin saya bisa menambahkan untuk memperjelas. Mbak Didik ini agak gugup. Jadi Mbak Didik ini pada kasus Mei itu kedatangan 15 korban perkosaan, tetapi yang delapan itu hanya datang sekali, sedangkan yang tujuh itu sampai sekarang ini masih tetap berhubungan.
Mbak Didie: Korbannya saya ingat semua, yang tujuh ini.
Sri Hardjo: Alamat tahu ya?
Mbak Didie: Alamat nggak, kalau pasien di klinik saya tanya alamat mana.Tapi kalau kasus ini saya ngga mau karena saya ngga perlu. Tapi kalau mereka susah cari saya.
8.Saksi Kedelapan: Ibu Karlina Leksono
Pada bulan Juli saya ditelpon dokter yang pernah merawat saya di Belanda. Dokter itu memberitahukan bahwa di rumahnya ada seorang korban perkosaan bersama dua orang saudaranya. Dokter itu menelpon saya karena dia tahu saya akan pergi ke luar negeri dan meminta saya untuk menemuinya. Anak gadis itu tinggal di rumah dokter itu dan dalam perawatan psikiater. Saya bersama Romo Sandyawan menemui dokter itu dan bertemu dengan anak itu. Gadis itu diperkosa di rumahnya di daerah
Yang kedua adalah anak teman saya. Dia berumur 16 tahun, diperkosa pada tanggal 14 Mei di rumahnya. Anak ini sekarang dalam perlindungan seorang Italia. Setelah kejadian, ibu dan pendampingnya berusaha membawa anak itu ke dokter tetapi tidak pernah berhasil. Anak itu mengeluh vaginanya nyeri tetapi menolak ketika dibawa ke dokter. Dia bilang kenapa harus dibawa ke dokter, khan dokter itu bisa kasih obat. Baru tiga minggu kemudian anak itu mau dibawa ke dokter. Sesampai di dokter, dan siap pemeriksaan, anak itu menolak dan marah-marah. “Beri saya obat saja”, katanya. Akhirnya dokter hanya memberikan obat dan pengetesan kehamilan dilakukan sendiri di rumah. Sejak kejadian itu, anak ini lebih banyak diam dan bengong (blank).
Korban yang ketiga itu terjadi setelah Mei. Dia diperkosa di taksi, setelah dibawa berputar-putar selama 9 jam. Sebelum diperkosa, dia mengalami teror verbal. Dia dipaksa mendengarkan pelaku pemerkosaan bercerita tentang apa yang dia buat saat kerusuhan Mei: memperkosa gadis-gadis Cina umur 9-16 tahun. Dia bercerita juga bagaimana dia memotong payudara. Korban diperkosa oleh 3 orang. Satu orang mengancam leher korban dengan silet, satu orang memperkosa dan satu orang lainnya bermain game watch.
9.Saksi Kesembilan
Saya juga menangani korban perkosaan di Bekasi. Saya dibawa pasien saya, yang adalah tetangga korban untuk menolong keluarga yang jadi korban perkosaan. Waktu saya datang suami korban menolak dan tidak membukakan pintu, akhirnya dia mengijinkan saya masuk. Dari cerita mereka saya tahu, yang diperkosa adalah istrinya (yang punya bayi berumur 2 bulan) dan 2 anak perempuan umur 6 dan 9 tahun. Saya lihat kedua anak itu berputar-putar ketakutan. Saya kemudian meminta ijin untuk memeriksa dan menolong anaknya. Saya melihat istrinya hanya duduk diam, pandangan matanya kosong. Suaminya tidak bisa kerja lagi karena istrinya seperti itu. Istrinya sangat stress ketika menyaksikan putrinya yang berumur 6 tahun diperkosa. Akhirnya bapak itu mengijinkan saya memeriksa putrinya. Setelah saya periksa, tampak anak yang berumur 6 tahun ruptur sampai ke anus dan kondisinya memprihatinkan. Saya katakan pada bapak itu kalau anaknya mesti dibawa ke rumah sakit dan saya akan membantu. Tapi bapak itu menolak dan mengatakan “Biar sampai mati mereka akan biarkan anaknya seperti itu. Ini aib”. Sejak kejadian itu, anak korban yang berumur 2 bulan dirawat oleh tetangganya karena ibunya sudah tidak mau menyusui dan tidak lagi peduli dengan bayi itu.
Ignoring May 1998: Impunity continues
Ati Nurbaiti, Staff Writer, The Jakarta Post, Jakarta
An infant has been born out of rape, at least one rape victim is mentally ill and 20 others have died, including by suicide. Many still mourn for missing relatives. This is just a small part of the legacy from the May 1998 riots, which has joined other mysteries in our history.
To little enthusiasm, last month the National Commission for Human Rights announced it was reopening the investigation into the riots. On June 3 the National Commission for Violence Against Women released a new book on the tragedy, Disangkal! Tragedi Mei 1998 Dalam Perjalanan Bangsa (Denied! The 1998 May tragedy in the nation's course).
It is painful reading. One survivor says she hopes to become a plastic surgeon to help other women -- she was one of two women forced by four men into a van on May 14, 1998, where their breasts were cut off.
In the tragedy, at least 1,200 died, mainly in burning shopping centers in a number of cities. A week after the riots, triggered by the fatal shooting of four students at a peaceful rally, Soeharto stepped down as president.
There has been little hope of solving the mystery of May 1998, for a number of reasons. First, cases piled on top of other cases, both old and new, leaving no room to decide which to forget and which to pursue.
The ""reform"" euphoria quickly faded in the face of so much to cope with -- the announcement by the human right's commission that it was reopening the case came amid still confusing plans for next year's elections and a war in Aceh, while the economic crisis is yet to abate.
The challenge in reopening the case will precisely be because it is a strong candidate to be forgotten. What makes the 1998 riots difficult to face is that it involves sexual assault and rape, mostly targeting Chinese-Indonesians.
It means facing the issue of racism, which is so uncomfortable that ""it wouldn't do"" to open up the wounds of victims and survivors. This is despite the fact that a team set up by the government concluded that the May tragedy was well-planned and systematic. Sociologist Ariel Heryanto has written that ""rape has not been part of a public expression of hatred"", echoing observations that the perpetrators likely had some prior conditioning.
Ariel and others have pointed out how the May riots were a horrible display of political violence, though far from new, and that racism happened to be a convenient tool.
Yet while there are many confirmed testimonies of the May riots being orchestrated, many here may think that precious time and energy may be better spent on things other than reopening a case that will nag them about their feelings on racism.
The attacks on Chinese-owned shops and Chinese-looking women were surely based on the assumption of existing prejudices against this minority, and what offended people was the impression that people resented the Chinese so much that they raped them.
It was rather surprising and deeply saddening that this feeling of offense dominated public discourse, oblivious to how the victims and survivors must have felt. The evil masterminds of the riots must have watched the ensuing mudslinging with glee. Many pointed to the ""exclusivity"" of the Chinese resulting in ""social jealousy"", others said that the riots and reports of hundreds of gang rapes were meant to discredit the majority of society, the Muslims.
The debates went on and on while such arguments failed to explain why women were sexually assaulted -- though a few feminists attempted to point out that rape is a regular, ancient tool for conquering the enemy -- and activists quietly fumed over the fact that scores of urban poor, who died in infernos, were stigmatized as ""looters"", buried in unmarked graves and forgotten.
Much of the coverage centered on locating evidence of reported gang rapes, and resentment grew against activists when the fact-finding team finally came in with the official number of ""only"" 56 rape cases. Numbers became vital -- in one alleged rape case a woman turned out to have been ""only stripped in public, not raped"", went one report. Activists were also accused of having a hidden agenda because they would not identify victims of rape and sexual assault to investigators or the media.
The emotional discourse ignored not only the victims and survivors, but greatly hampered the public's capacity to understand the vulnerability of our society to ugly political games and provocation and the violence that these entailed.
Another related issue left unaddressed is the vulnerability of women here to be used as tools to silence the enemy, as has occurred in conflict areas across the country.
That vulnerable people are repeatedly selected for convenient targets was not lost on women -- the above book reminds us how leading women such as psychologist Saparinah Sadli faced then president B.J. Habibie and demanded a public apology. On June 16 1998, Habibie declared that the government condemned and apologized for the riots and the losses entailed; that the government would immediately form a joint fact-finding team; and that the government would immediately set up a National Commission for Violence Against Women, later chaired by Sadli.
In a recent interview with The Jakarta Post, Father Sandyawan Sumardi, among the activists assisting survivors of the May riots, said that survivors no longer hoped for compensation or to have the stigma of being labeled looters lifted from them. They even seem to hold out little hope for justice. Since May 1998, as the country witnessed an unprecedented spread of communal conflict, the survivors seemed to know better.
The priest said the survivors wanted ""a total renewal of the whole system in society, so such a tragedy would not happen again in the future and the circle of violence would stop"".
They seem to be aware of the common sense of despair that anyone will be held accountable for even one of the many vicious crimes here. Without investigations into such violent incidents as the May tragedy, the circle of violence indeed continued -- masses can be mobilized, at least to riot, while a few dozen groups can be trained to victimize any convenient target, even to merely create chaos, to make a point.
And, of course, they walk free.
Berikut adalah pengalaman pribadi beberapa teman sehubungan dengan peristiwa Mei 1998,
Riawati ( tinggal di daerah Bekasi dekat Cakung )
Waktu itu gw
Lucia ( tinggal di Pondok Kopi, Jak Timur, kerja di Sudirman )
Gue waktu tgl 13 Mei itu masih kerja tapi dikasih pulang cepat karena mahasiswa udah pada ngumpul di bawah jembatan layang dekat Karet. Gue lupa kejadian penembakan mahasiswa Trisaktinya itu tgl 13nya atau 12 pokoknya pagi gue denger beritanya di radio dalam bis waktu berangkat kerja, siangnya gue pulang cepat krn kita dengar Glodok udah rusuh gue masih belum tau berita itu benar apa nggak tapi pas sampe rumah adik gue yg lagi belajar di Belanda telpon nanyain keadaan di Jakarta karena TV sana udah rame sedangkan kita belom tau ada kejadian apa karena komplek rumah gue aman2 aja cuma sekitar jam 11 pagi gue dengar mall di Klender dekat rumah gue dijarah dan dibakar dan malamnya dikomplek gue pada ngeronda buat jagain rumah2 kita. Perasaan gue waktu itu sedikit bingung, takut campur aduk karena gue nggak tau kejadian ini benar nggak. Yang paling parah di daerah Pluit sama Cengkareng karena disitu banyak warga Cina tinggal, rumah mereka pada dijarah dan katanya banyak yg diperkosa tapi ini gue juga nggak tau benar apa nggak.
Veny ( tinggal di daerah Angke, kerja di Sudirman )
Pas rusuh mei 98 itu gw masih tinggal di TPI II di Angke sebrang Duta Mas dan daerah itu termasuk yang parah abis n menyeramkan pas riot itu Dimulai dari kejadian Trisakti gw dah gak bisa pulang ke rumah, jadi dari kantor gw terpaksa nebeng nginep di tempat temen gw di daerah Slipi deket BINUS & karena dadakan yah gw gak bawa perlengkapan apapun termasuk baju dll, jadi pas besoknya ke kantor dengan baju & perlengkapan yg sama gak ganti, gw mikirnya yah kan abis itu mungkin keadaan mereda n gw bisa pulang rumah.
Tapi ternyata malah makin parah trus kita dipulangin dari kantor setelah Jakarta porak poranda sekitar jam 4 sore gitu dan dah jelas gw gak bisa pulang rumah lagi apalagi gosipnya kalo Chinese bakal dibabat abis dan yg perempuannya diperkosa, so temen gw yg Batak nawarin apa gw mo ikut bareng dia nginep di rumah dia sampe gw bisa pulang rumah. Karena keadaan emang mengerikan wkt itu kantor kita
Dan akhirnya kita sampe di rumah temen gw itu dgn selamat dan deg2an . Selama di rumah temen gw itu kita pantau keadaan dari TV dan juga dari siskamling setempat . Gak bisa tidur nyenyak karena kalo ada kentongan berarti ada bahaya n ada orang2 yg mo nyerang . Diperparah keadaannya karena gw pake softlens dan minus gw dah tinggi dah minus 6, jadi repot gak bisa liat jelas, softlens dah gak bisa dipake krn mesti direndem dan gw gak ada obat rendamnya n gak bawa kacamata krn gak kepikir bakal gak bisa pulang sampe 5 hari. Gw masih belom bisa pulang rumah karena kata nyokap komplek rumah kita diportal abis jadi dari dalem gak bisa keluar n dari luar gak bisa masuk, sengaja supaya orang2 yg mo nyerang itu gak bisa masuk ke dalam komplek. Terus pas hari ketiga di rumah temen gw, gw dijemput tante gw yg tinggal di apartemen Kedoya Elok n stay disitu sampe gw bisa pulang rumah. Setelah 2 hari di rumah tante gw, mereka anter gw pulang, tp pas dah sampe di Angke depan Grawisa, kita liat mobil2 yg di depan kita pada buru2 balik arah ke arah kita lagi di jalan yg sama itu .... n ternyata di depan kita liat ada segerombolan orang yg mo nyegat n nyerbu mobil2. Alhasil gw gak jadi pulang lagi deh balik ke tempat tante gw lagi sampe 2 hari baru bisa pulang setelah itu. Bener2 bikin trauma dan moga2 gak ada lagi.
Rafael ( tinggal di Jembatan
.ke 10 saya mutusin tidak mau minum obat tidur lagi karena obat tidur akan mengganggu kesehatan saya dan saya tidak mau hidup tergantung obat2an. Dan akhirnya saya mulai rajin juga membuka dan membaca kitab suci terutama penyembuhan Yesus kepada si penderita sakit.jadi waktu hari ke10 saya tidak minum obat tidur waktu di ranjang saya bilang sama Yesus….. Yesus kalau malam ini dalam tidurku Engkau mau mengambil aku, terjadilah menurut kehendakMu demi kebaikan dunia tetapi kalau boleh jangan ambil aku malam ini. Itu setiap malam saya ucapkan dan akhirnya saya mulai bisa tidur.sebenarnya ceritanya masih panjang sampai akhirnya sy belajar meditasi sendiri.
Prajogi ( tinggal di Bekasi, kerja di Cakung )
Blom married. Pas hari kerusuhan ga berani pulang,….tidur di pabrik, Cakung. Gw liat orang2 kampung ngejarah Super Indo, bawa barang2 beserta troli. Besok harinya nekat pulang, sepanjang jalan di Bekasi, ban bekas dibakar, bank dijarah semua, ruko2 hancur.
Reny ( tinggal di daerah Jembatan Tiga –
Gua di Sinar Budi, lalu ngungsi ke BSD dan baru ngelahirin 3 mingguan. Di BSD sih lumayan aman, walau siaga 1.
Imelda ( tinggal di daerah Pluit –
Waktu Mei98, wkt demo mengganas di Grogol, gw masih di kantor. Kita cuma denger dari radio. Babe gw bilang gak usah pulang krn dr kantor pulang ke Pluit hrs lewat Grogol. akhirnya gw dengan beberapa org temen nginep di Holiday Inn, hotel diseberang Komdak. Pagi2 banget, pulang bareng pacar ke Pluit, deg2an, untungnya aman, kita muter lewat Tol Priok, keluar di Gedong Panjang. tetep gak berani lewat Grogol krn dpt kabar banyak orang yg dirampok krn berkulit kuning. Sampai di rumah aman, udah daster-an siap2 tidur, tau2 Babe bilang jangan tidur, gw disuruh ganti baju krn denger kabar akan ada aksi spt kemarin malam (penjarahan ATM di daerah jakbar) Gw disuruh ngungsi kerumah pacar neh (lebih aman krn di dalam kompleks) jadi gw dan si emak (alm) pergi bawa surat2 berharga kesana. Gak lama kemudian Babe telpon untuk jaga2, BCA Pluit Timur dan supermarket (gw lupa namanya apa) lagi dijarah. Babe beserta penghuni Pluit Timur lainnya dan satpam kantor2 disana dengan senjata api, pedang, dsb menghalau sedapat mungkin jadi supermarket cuma kena rusak pintunya aja, BCA juga aman. Mereka kayaknya sebagian yg termasuk tidak terlalu ganas, tidak seperti di PIK, Apartemen Mitra Bahari dsk. Pluit Timur relatif aman. Setelah itu gak ada serangan lagim tapi suasana tetap tegang beberapa hari kedepan. Syukurlah hari itu udah lewat. gw bersyukur keluarga, teman2 n orang2 yg gw kenal, tdk ada yg dianiaya/dibunuh. tp beberapa dari teman gw ada yg kena jarah habis rumahnya. Teman gw yg di Jembatan Besi, di Apt Mitra Bahari lt 6, temen Babe di PIK. Tuhan maha adil apa yg memang menjadi milik mereka sudah kembali menjadi milik mereka lagi sekarang.
Babe buka bengkel mobil, tapi agak ketengah, jadi penjarahnya itu belum sampai kesana baru samapi BCA udah dihadang. Mengenai temen2 gw, gw gak jamin mereka mau cerita, kayaknya udah pada mau ngelupain masa2 itu.
Yang gw inget kalo temen gw yg di Mitra Bahari juga, dia gak tau kejadiannya. Malam sebelum kejadian, suaminya telpon kalo dia gak bisa pulang. Dia suruh temen gw hati2 dirumah. tp untungnya perasaan temen gw gak enak, dia itu lagi hamil 6 bulan, jd dia pikir lebih bagus kerumah nyokapnya di Ancol. Untung dia nginep disana. Setelah berapa lam dia baru balik ke Mitra Bahari dan liat aptnya udah ancur berantakan. Semua barang dibawa, yg gak bisa dibawa seperti sofa, itu di sobek2 gak keruan.
Yg di Jembatan Besi, babenya pengalaman wkt masa ribut2 PKI. Jd waktu ada ribut2 di Grogol, dia suruh anak dan mantu gali tanah didalam rumah untuk ngumpetin barang2 berharga mereka. Waktu hari kejadiannya, pagi2 mereka dipanggil Pak RT untuk ngungsi kerumahnya, karena denger2 ada penjarahan. bener aja untung 1 keluarga besar itu ngungsi di rumah2 penduduk. Rumah mereka habis dijarah, termasuk burung jalak bali sampai mug koleksi temen gw.
Kalo di PIK itu rumah temen Babe, pagi2 dipanggil satpam untuk ngumpul ditengah2 lapang golf demi keamanan penduduk. Mereka juga bingung, mau ngapain. Iseng2 dia telpon kerumahnya yg ditinggalin itu, ada yg angkat jawaban ditelpon itu , "woi ngapain telpon2 gw lg kerja nih" jadi dia sadar saat itu rumahnya dijarah. Pas pulang kerumah istrinya nangis, sampai sendok tehpun tidak ada, tapi masih untung rumahnya. tidak dibakar.
Andreas
Wkt Mei 98, rabu sore itu kita gak tau kalo lagi banyak demo, di Daan Mogot banyak
Tena ( keluarga tinggal di Tangerang )
Pengalaman gw tentang kerusuhan May itu kosong. Gw sejak taon 90 udah ke Amrik dan jarang pulang. Belakang ini gw coba sering2 pulang. Waktu kita ketemuan camping 92, itu kebetulan gw lagi berlibur. Waktu kerusuhan, gw cuman denger cerita. Sangat menyedihkan. Politik itu memang mengerikan dan tidak pandang bulu. Semoga tidak akan lagi pernah terjadi kejadian seperti itu.
Hadi ( tinggal di Batangkuis, Sumatera Utara )
Mungkin kerusuhan itu terjadi memang sudah direncanakan dan utk daerah kami itu hanya untuk Chinese. Pagi hari sebelum kejadian, mobil2 antar barang dari kalangan Tionghoa sudah dicegat tidak boleh untuk antar barang. Dan kejadian dimulai pukul 15.00 siang dengan diawali pelemparan batu kerumah2, namun dengan adanya Brimob maka dapat dikendalikan daerah kami. Namun pada jam 18.00 ibukota kami Lubuk Pakam, juga terjadi pelemparan maka
Kalau dibilang Nedan awal dari kerusuhan betul itu. (Faktor mahasiswa USU yg dikirimi BH dan CD oleh mahasiswa UI). Malam itu adalah malam kiamat buat kami. Penjarahan terjadi dari jam 21.00-02.00 dengan total habis seluruh toko kami.dari jam 21.00-03.00 total habis. Yang pusingnya springbed bisa diangkat 1org, yg biasanya hrs 2-3org. Mungkin karena gratis jadi mereka tenaga cadangan dikeluarin. Waktu sebelum masuk ke kediaman kami, kami lihat dari ruko lantai 3 dijalanan yang ada semua kepala manusia mungkin diatas 3000 orang. Diskriminasi itu tidak akan bisa dihapus krn tembok2 terlalu tebal untuk diruntuhkan. Jikalau dibilang org chinese kurang sosialisasi/bergabung ke kaum pribumi, bagaimana pula
Demo ada, dan titik pertama kali ya didaerah
Lenny ( tinggal di Siantar, Sumatera Utara )
Pas kerusuhan Mei tinggal saya & Thomas (adik yg paling kecil) di rumah. Parents & siblings lagi di
Forgiveness and justice after May 1998 tragedy
Jennie S. Bev,
Twelve years ago, our family and my parents’ house were saved by a mosque. A mob came to torch down the neighborhood but a good Muslim neighbor shouted, “Don’t torch our homes.
“There is a mosque nearby!” I was fortunate I was there and not on the way to my house in Tangerang,
Questions on forgiveness and justice have haunted me since. As a triple minority, based on my ethnicity, gender and religious affiliation, I belonged to “the weakest link” group, which explains why women of Chinese-Indonesian descent were targeted.
At that time, being at the right place at the right time saved me from harm, while 1,338 people were killed and 92 Chinese-Indonesian women were raped and sexually assaulted. It is common knowledge that for centuries, rape and other forms of sexual assault have been widely used as instruments of war and terror worldwide.
This blessing of survivorship left me with the so-called “survivor’s guilt” and trauma. For months, I had nightmares of the pitch black sky of
For months, I had to live with the faces of dead Chinese-Indonesian sisters who looked so innocent and hopeless when being raped. I could have been among them.
The May 1998 Tragedy incident directed me to philosophize about what’s important and to have a life of mission: educating people on crimes against humanity and inspiring them to change the world for the better breath by breath and word by word.
Many people have experienced a similar heightened level of consciousness on their identity, political standing, and victimization and survivorship as minorities.
We often hear comments that there are many “native” Indonesians among the May 1998 Tragedy casualties, which I acknowledge.
When there is social unrest, there are “direct” and “indirect” as well as “targeted” and “not targeted” casualties, which no one can discriminate against.
However, to be fair and clear, we need to be aware of the facts that “the targeted” and “the directed” casualties were minorities, not the majority.
Other historical facts and scientific literatures also validly revealed that
Failure to admit such wrongdoings is more than being ignorant, it is called adopting the mindset of the “banality of evil.”
This term was coined by Hannah Arendt in 1963 referring to the notion of ordinary people who accept the premises of their state and participate without questioning the fundamentals.
In other words, those who numb their minds and hearts belong to this category.
As members of a society, Immanuel Kant reminded us of obligations. Two types of obligation are “perfect” and “imperfect.”
An obligation is considered “perfect” when an individual possesses and can perform effortlessly a specific skill, talent, or power that can save member(s) of a society.
In other words, the more one has, the more obliged they are to save or, at least, attempt to save fellowmen and women. A “perfect” power comes with a “perfect” obligation to work for humanitarian causes. Thus, people with enormous power such as US President Barack Obama and President Susilo Bambang Yudhoyono should naturally be strong humanitarians.
An “imperfect” obligation occurs when an action that can benefit a society must be performed with some effort — either big or small.
In the case of an individual with a very low power to assist others, they are the least obliged, such as children and sick people.
Such “imperfect” obligations are relative, of course, but “relativity” is also a mindset. Whatever the mind sets as “truth,” our physical body usually follows.
The notion of “forgiveness” is not being melancholic nor a form of repentance. It is a measure of the people’s mourning of the past that should be kept extraordinary, not merely normative, as Derrida said in On Forgiveness. Whether “silence” of the majority on this incident is forgiveness or a simple form of amnesia remains a question mark.
At last, allow me to remind ourselves that justice comes with fairness and it can only be achieved with liberty and acknowledgment of differences, as John Rawls posited.
To be fair, minorities must receive more and stronger protection so the balance of justice doesn’t tip favorably toward the majority.
After all, the protection of the minority’s rights is an important element of democracy.
Let’s never forget the May 1998 Tragedy and demand for justice for all minorities, victims and survivors. For now, let’s not forgive the actors until they are brought to justice.
The writer is an Indonesian-born author and columnist based in
ITA FATIA NADIA, TIM RELAWAN: “INI MURNI DARI HATI NURANI…”
[Mingguan D&R, no.46, Th.XXIX, 4 Juli 1998]
Sampai pekan lalu, sekitar 40 hari setelah kerusuhan pertengahan Mei lalu, Tim Relawan masih terus melakukan investigasi korban pemerkosaan dan kekerasan. Mereka tidak sekadar mendengar informasi lalu mencatat. Juga, mereka melakukan penyisiran lokasi dan pengecekan agar data benar-benar akurat. Hasilnya, menurut Ita Fatia Nadia, 40 tahun, Koordinator Kalyanamitra, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan diri dalam bidang kewanitaan, mereka telah mendata 182 korban, berusia antara 10 tahun dan 50 tahun – terbanyak, korban berusia antara 20 dan 30 tahun. Sebagian dari korban masih syok dan mengalami depresi; sejumlah korban tewas di saat peristiwa terjadi, ada yang bunuh diri, dan masih ada di antara korban terbaring di rumah sakit.
Tak mudah meminta Ita untuk menunjukkan di mana korban berada, hingga D&R bisa mengeceknya langsung. Ita enggan mengatakan, tapi ia meyakinkan bahwa semua yang ia katakan benar adanya. Memang, ia sendiri tak mengecek satu persatu; hanya beberapa di antara korban yang secara langsung ia temui.
Dan, Ita, yang bergabung di Kalyanamitra sejak tahun 1993, melakukan ini semua dengan ikhlas. Toh, ia mengaku beberapa kali menerima teror gelap, meminta agar ia dan timnya, Divisi Pendamping Korban, menghentikan kegiatannya mengidentifikasi korban. “Apa yang kami lakukan murni dari hati nurani, tidak ada ambisi politik sedikit pun,” katanya. Karena itu, meski ia kadang-kadang cemas juga, ia tetap menjalankan tugas kemanusiaan itu.
Berikut wawancara Puji Sumedi H dan Rustam F Mandayun dari D&R dengan ibu dua anak itu, di kantornya, di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu malam, 27/6:
Mingguan D&R: Di masyarakat kini muncul isu, korban pemerkosaan ada yang hamil. Benar?
ITA NADIA: Mereka masih mengalami trauma berat. Tidak sedikit dari mereka yang justru menutup mulut tak mau menceritakan apa yang dialaminya. Tidak hanya si korban pemerkosaan, melainkan juga keluarganya masih mengalami stres berat.
Sejauh yang kami ketahui, ada dua orang yang hamil. Seorang karyawati, ia lalu bunuh diri dengan minum Baygon. Satu lagi masih kami verifikasi, dia berumur 18 tahun dan bunuh diri baru seminggu yang lalu.
D&R: Bisa diceritakan cara kerja Tim Relawan?
IN: Awalnya, kami membuat 'hotline' 24 jam, tidak ada libur. Ternyata, banyak informasi masuk, memberitahukan keberadaan korban. Si pemberitahu bisa teman, saudara, tetangga, orang tua, juga korban sendiri. Mereka memberikan alamat lokasi kejadian, waktu, dan juga keberadaan si korban sekarang.
Dari situ, kami melakukan investigasi dan menyisir ke lapangan untuk membuktikan kebenarannya. Kalau benar, kami catat. Jika ternyata mereka telah pergi ke luar
Tak sedikit korban dan keluarganya yang kini berada di luar negeri karena takut dan trauma tinggal di
Memang, tidak mudah melakukan identifikasi korban pemerkosaan. Tidak semudah seperti mengidentifikasi korban kebakaran. Yang kami temukan, kebanyakan pemerkosaan dilakukan tidak hanya oleh satu orang. Kami menyisir geografi, mulai dari daerah Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Dari situ kami buat peta lokasi. Ternyata, paling banyak terjadi pemerkosaan di ruko-ruko (rumah toko) yang terletak di pinggir jalan besar, tempat kendaraan mudah lalu lalang, dan dekat dengan komunitas miskin di sekitarnya. Di daerah permukiman peristiwa itu terjadi juga, jika lokasinya dekat dengan ruko atau ada di belakang ruko-ruko itu, misalnya di Pantai Indah Kapuk. Dan umumnya, merupakan daerah pecinan menengah ke bawah.
D&R: Perbandingan korban di
IN: Korban paling banyak di Jakarta Barat, di ruko dan kompleks elite. Di Jakarta Utara, tidak separah di Jakarta Barat.
Kami pernah mengecek apartemen Mitra Bahari di Jakarta Utara. Waktu kami datang, penghuninya sudah pergi semua. Pihak pengelola apartemen mengatakan tidak ada korban pemerkosaan di
D&R: Bagaimana dengan korban yang bernama samaran “Vivian” yang di internet itu?
IN: Soal Vivian, kami tidak mendapat laporan. Tapi, korban lain yang tinggal di apartemen Mitra Bahari. Yang ini pun sangat sulit investigasinya. Mereka yang tinggal di ruko-ruko dekat apartemen itu sekarang tutup mulut, katanya mereka diteror.
Temuan di Mitra Bahari itu akan kami verifikasikan lagi. Umumnya, mereka telah banyak yang pergi ke Singapura,
D&R: Korban-korban yang Anda data hanya diperkosa?
IN: Pertama, ada korban tak diperkosa, cuma ditelanjangi lalu dianiaya. Kedua, korban diperkosa dan dianiaya. Saya diundang ke Singapura oleh seorang ayah untuk menengok anaknya yang kini masih terbaring di sebuah klinik di Singapura. Anak itu berusia 18 tahun, diperkosa dan dianiaya. Saya diminta menyaksikan langsung bahwa anaknya benar-benar menjadi korban. Lalu di Solo, sampai kini masih ada yang koma di sebuah rumah sakit karena diperkosa.
Ketiga, korban diperkosa lalu dibunuh atau terbunuh. Seorang wanita memberikan kesaksian bahwa dua adik perempuannya, berusia 22 dan 18 tahun, tanggal 14 Mei sore, diperkosa di rukonya oleh tujuh laki-laki asing yang menyerang rukonya. Tak cuma itu, selesai memperkosa, beberapa dari pelaku turun ke lantai satu dan membakar ruko itu. Saat itu pula, adiknya dilemparkan ke dalam api oleh mereka. Saat itu, wanita setengah baya itu hanya bisa menjerit memanggil nama dua adiknya. Dia sempat melarikan diri, ditolong oleh masyarakat pribumi di sekitarnya.
Menurut wanita tadi, ruko-ruko di sekitarnya pun bernasib serupa.
D&R: Apa yang bisa disimpulkan?
IN: Hasil investigasi kami, kekerasan itu dilakukan oleh 3-10 orang. Waktunya, tanggal 13-15 Mei, puncaknya terjadi tanggal 14 Mei. Kejadiannya diawali dengan penyerangan dan perusakan, lalu pemerkosaan, dan terakhir pembakaran.
Menurut saksi yang lain, para penyerang, perusak, dan pemerkosa tersebut berbeda dengan yang melakukan penjarahan.
Itu tak cuma terjadi di
D&R: Antara pemerkosa dan penjarah berbeda?
IN: Penyerang datang, lalu merusak dan memperkosa, setelah itu merangsang penduduk untuk melakukan penjarahan. Setelah
D&R: Menurut Anda, kenapa sampai terjadi pemerkosaan?
IN: Karena pemerkosaan menjadi alat yang mudah untuk menteror sebuah keluarga, dan karena si korban umumnya akan menutup diri.
D&R: Mungkinkah pelaku diadili?
IN: Itulah sulitnya. Menteri Kehakiman Muladi sendiri pernah bilang agar pelaku segera ditangkap. Sangat sulit sekali itu. Apalagi dalam kasus pemerkosaan, harus ada saksi. Sekarang saja mereka yang mungkin menjadi saksi sebagian besar sudah banyak yang diteror lewat telepon. Kami saja dalam melakukan pendekatan mengalami kesulitan dan butuh waktu lama. Mula-mula kami berupaya membangun kepercayaan agar mau bercerita. Barulah setelah mereka percaya betul, mereka mengizinkan relawan datang ke tempat tinggalnya, dan biasanya malam hari.
Selain melakukan investigasi, kami pun melakukan pendampingan untuk korban dan keluarganya, secara psikologis dan medis. Kami juga menyelenggarkan “Rumah Aman” yang bisa menampung mereka.
D&R:
IN: Tidak akan mudah korban pemerkosaan melapor kepada aparat. Saat ini trauma mereka belum hilang.
Pihak kepolisian cukup baik. Mereka pun melakukan investigasi dengan caranya dan mereka juga datang kemari untuk bertukar pikiran. Pernah mereka meminta data tapi kami menolak. Kami minta mereka pun mencari, barulah data dia dan data kami di-'cross-check'.
D&R: Jumlah Tim Relawan sekarang berapa?
IN: Sampai sekarang sekitar 400 orang. Mereka terdiri dari dokter umum, dokter spesialis, rohaniwan, psikolog, ahli bahasa Cina dari semua jenis – ini disebut tim ahli.
Mengapa kami perlu ahli bahasa Mandarin? Rata-rata dari korban yang didampingi tidak mau berbicara lagi dalam bahasa
D&R: Apa yang dimaksud dengan “Rumah Aman”?
IN: Sebuah bangunan tempat para korban dan keluarganya tinggal untuk memperoleh perlindungan dan rasa aman, dan memperoleh ketenangan spiritual. Dia tahu bahwa ada orang lain yang menemaninya. Di rumah itu ada 'volunteer' yang terpilih benar, dokter umum, psikolog, ginekolog, psikiatri, rohaniwan.
Tapi, ada pula yang masih dirawat di rumah sakit. Kalau dia masuk rumah sakit atas inisiatif sendiri, itu merupakan hak prerogatif rumah sakit. Kami tidak bisa mengutik-utik. Tapi, kalau si korban masuk rumah sakit atas rujukan dari kami, akan ada anggota relawan yang mendampinginya. Dan, rumah sakitnya tidak sembarang rumah sakit, melainkan rumah sakit yang bisa menjadi “rumah aman” kedua untuk korban.
D&R: Sekarang apakah masih dilakukan investigasi dan verifikasi?
IN: Kami pun masih terus melacak. Kini sudah tercatat 182 orang korban, dan agaknya masih akan bertambah lagi jumlahnya. Sore tadi , kami baru mendapat informasi, seorang 'teller' bank jadi korban pemerkosaan, tak pernah keluar rumah sebulan lebih karena trauma. Ternyata kini dia meninggalkan rumah entah ke mana. Kami sedang melakukan pencarian. Lalu, seorang ibu yang anaknya diperkosa dan dibakar mengalami stres. Dia pun meninggalkan rumah, dan kami pun sedang melakukan pencarian juga.
D&R: Menteri Urusan Peranan Wanita menyatakan belum menemukan satu pun korban pemerkosaan …
IN: Itu aneh. Memang, setelah Menteri mengeluarkan pernyataan, ada stafnya yang mengontak kami untuk meminta data. Tapi, kami tidak memberikannya. Kami sengaja merahasiakan, karena ini merupakan kepercayaan dari para korban dan keluarganya. Kami tidak bisa mempertaruhkan kepercayaan mereka. Yang penting, apa yang kami lakukan bersama tim relawan yang lain benar-benar atas dorongan hati nurani. Sama sekali tidak ada ambisi politisnya.
D&R: Apakah Tim Relawan mendapat teror?
IN: Setelah Romo Sandy mendapat kiriman granat, saya juga ditelepon suatu malam, Katanya, “Mbak Ita
Dari Badan Intelijen ABRI pun datang kemari dua orang. Mereka ingin meminta data dengan alasan untuk menepis bahwa yang terjadi tidak benar. Mereka menyatakan, bagaimana bisa masyarakat
Lalu, saya juga mendapat telepon, orang itu tahu benar saya punya dua anak, nama dan alamat sekolah anak saya, malah seragam dan jam berangkat dan pulang sekolah pun dia tahu. Dia meminta agar saya berhenti berkampanye. Sebagai seorang ibu, saya khawatir. Tapi, bukan lantas saya menyerah. Saya percaya pada hati nurani. Tapi ini harus dihadapi. Tim Relawan akan tetap jadi teman dan mendampingi korban.
Dan kami, apa pun yang terjadi, tidak akan memberikan nama dan data korban karena itu merupakan rahasia. Kami hanya mencoba membangun kepercayaan, memulihkan dirinya sebagai manusia dan anggota masyarakat.
D&R: Anda pernah bertemu korban?
IN: Saya adalah koordinator umum. Saya harus tunduk pada aturan, tidak bisa sembarang orang menangani korban. Saya menampung semuanya. Kalau korban datang ke sini, saya melihatnya. Tiap malam, saya pun ikut menerima telepon dari para korban yang selalu mengontak kemari.
Saya melihat sendiri korban karena saya dijemput untuk menengoknya. Dua perempuan, satu orang 21 tahun dan 19 tahun, mengalami penganiayaan berat. Tanggal 6 Juni lalu, mereka operasi di luar negeri. Kedua korban tak sampai diperkosa. Mreeka dicegat di daerah jalan layang arah Kebon Jeruk, diserang lalu ditelanjangi. Mereka bisa lari, ditolong oleh seorang tukang ojek dan dipinjami jaket si tukang ojek. Yang satu diselamatkan seorang sopir taksi. Menurut kedua korban, mereka melihat hal serupa yang mereka alami di sekitarnya.
D&R: Anda mengatakan sampai kini mereka masih trauma. Apa yang mereka lakukan, misalnya? IN: Saya pernah diundang oleh suatu komunitas di Jakarta Barat. Mereka ini membawa pisau ke mana-mana, bahkan ke kamar mandi sekalipun. Umumnya pisau tak pernah lepas dari tangannya.***
[Mingguan D&R, no.46, Th.XXIX, 4 Juli 1998]
Kesaksian Christianto Wibisono
Keluarga saya telah mengalami peristiwa traumatik itu yang hampir saja mengganggu kejiwaan. Karena pada waktu putri saja Jasmine harus kabur dari rumah mereka di Kapuk pada 13 Mei malam, nasib dua bayi ( satu anak perempuan berumur 15 bulan dan satu bayi lelaki baru lahir 22 Maret, atau 45 hari) seolah olah seperti bayi yang harus lari dari kejaran Firaun dan Herodes.
Ketika
Saya sendiri hari itu membatalkan dan tidak bisa memenuhi undangan untuk memberi ceramah didepan Mabes ABRI di Cilangkap bersama DR Rizal Ramli. Dalam dialog per telpon dengan petugas di Cilangkap saya menyatakan tidak bisa berangkat karena tidak ada kendaraan bisa jalan dalam suasana anarki seperti itu. Menurut cerita yang saya baca dari koran, DR Rizal Ramli sempat naik turun mobil, taksi dan ojek untuk isa sampai di Mabes ABRI Cilangkap dan dia memberi presentasi "solo "(alias sendirian) karena saya tidak bisa hadir hari itu.
Sejak peristiwa itu Jasmine dan keluarganya memang berpindah pindah karena trauma dengan penyerbuan Kapuk. Karena situasi memang akan masih mencekam sampai jatuhnya Soeharto 21 Mei, maka Jasmine dan dua bayinya berpindah dari satu apartemen ke apartemen lain, trauma dengan pembakaran dan penjarahan rumah yang ditinggalinya.
Pada 10 Juni 1998 sebuah surat kaleng dari orang bernama Ponidjan malah mensyukuri pembakaran rumah Jasmine dan memaki serta mengancam pembunuhan terhadap diri saya dengan nada penuh kebencian SARA yang memuakkan dan tidak layak untuk ditulis oleh manusia yang masih beradab. Dalam buku Masters of Terror yang diterbitkan oleh ANU Canberra 2002, nama Ponidjan termasuk dalam jajaran personalia dibawah seorang pati berbintang dua yang namanya masuk dalam daftar pelanggaran HAM Timtim 1999.
Sejak bulan Juni 1998 itu keluarga besar Wibisono melakukan reuni dan pemulihan psikologis. Dengan melihat kepada besarnya peranan AS dalam percaturan politik global saya memutuskan untuk bermukim di Washington DC.
Sebagai pengamat politik yang telah mempelajari tingkah laku politik rezim Soeharto saya menyatakan bahwa tragedi 14 Mei adalah suatu konspirasi kontra-reformasi untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa yang menolak Soeharto. Saya menyesalkan bahwa
Memahami konspirasi politis di balik tragedi biadab 14 Mei, saya mendesak pemerintah dan Komnas HAM agar menyidik aktor intelektual, penggerak dan pelopor tragedy biadab tersebut.
“Sajak Bulan Mei 1998″ oleh Rendra.
(Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998)
Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah
O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara
Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya
Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.
Perkosaan yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998 memang dianggap sebagai bentuk perkosaan yang paling rumit definisinya. Kebenaran, ketidak benaran dan kebohongan bercampur aduk jadi satu. Perdebatan muncul seputar masalah siapa yang mengetahui kebenaran tragedi ini dan apa yang sebenarnya terjadi.
Beberapa hal yang ingin saya bagikan adalah :
1. Perkosaan Mei 1998 itu
Seperti yang tertulis di buku “ Saatnya meneguhkan rasa aman “ yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan sbb :
Temuan dokumentasi Pelapor Khusus menegaskan adanya perempuan korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan dalam rangkaian kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan beberapa
Jangan karena tidak ada korban perkosaan yang melaporkan secara resmi kasusnya kepada Polisi lengkap dengan nama, alamat dan perincian kejadian (legal truth), maka kasus perkosaan dianggap tidak pernah ada. Mari kita lihat bersama beberapa alasan kenapa korban perkosaan Mei 1998 membisu dan hanya bersedia membuka diri kepada tim relawan dan tim konsuler kemanusiaan/keagamaan yang sangat menjunjung “moral truth’, yaitu :
- Baik korban perkosaan maupun keluarganya, mengalami ketidak berdayaan fisik dan kegoncangan mental yang luar biasa. Mereka tidak mampu berbicara, mereka juga tidak tahu harus berbuat apa, mereka takut diketahui identitasnya, dan menolak bertemu orang tidak dikenal.
- Korban dan keluarga takut diteror karena beberapa korban menyatakan pemerkosa menyita KTP mereka saat kejadian perkosaan, yang berarti mereka mengetahui nama dan alamat tempat tinggal mereka.
- Stigma sebagai korban perkosaan dalam masyarakat sangat tidak menguntungkan posisi para korban perkosaan massal. Mereka memilih menyimpan aib keluarga, segera meninggalkan lokasi dan melupakan yang pernah terjadi.
- Sikap pemerintah yang tidak percaya dan setengah menyangkal, membuat para korban dan keluarga sama sekali tidak punya kepercayaan kepada polisi, militer dan pemerintahan. Sehingga akhirnya mereka lebih memilih terbuka kepada para tim relawan yang berjanji menjaga rahasia dan keselamatan mereka.
- Teror yang diterima para tim relawan, yaitu pengancaman lewat telepon, pengiriman granat dan pembunuhan Ita sempat membuat para korban dan saksi mata ragu dan membatalkan pertemuan dengan para tim relawan. Korban dan saksi menjadi sangat khawatir akan relasinya dengan para tim relawan, baik untuk diri mereka sendiri maupun demi keselamatan para tim yang menolong mereka.
2. Perkosaan Mei 1998 BUKAN terjadi secara spontan karena massa yang mengamuk, melainkan sudah direncanakan jauh2 hari dan diorganisir secara rapih oleh pihak tertentu.
Terbukti adanya laporan di media, dan juga salah satu testimoni dari teman saya yg tinggal di daerah Jembatan Lima bahwa tersebar kabar burung di masyarakat dimana mereka saling kasak kusuk tentang benar atau tidaknya isu itu. Beberapa dari mereka berinisiatif memberi peringatan waspada kepada para WNI keturunan tentang adanya isu ini, Sedangkan segelintir yang lain justru menjadikan isu ini alat untuk mengancam dan melecehkan. Diyakini adanya provokator yang bergerak dengan pola yang seragam untuk membuat
3. Perkosaan Mei 1998 BUKAN semata2 kekerasan rasial, melainkan ditunggangi oleh permainan politik tingkat atas.
Dalang tragedi ini mempunya 2 Plan utama, kerusuhan dan penjarahan adalah Plan A, sedangkan perkosaan para wanita WNI ditaruh di plan B. Plan A jelas bertujuan untuk memporak porandakan semangat perjuangan reformasi mahasiswa pada saat itu, dan berhasil dengan baik. Masyarakat jadi sibuk sendiri menyelamatkan harta benda dan menyesali pergerakan mahasiswa yang berakhir dengan merugikan masyarakat sekitar. Semua perhatian media dan masyarakat terserap pada kasus penjarahan dan korban kebakaran Mall, dan menuding keras militer sebagai otak dan `pihak yg harus bertanggung jawab.
Laporan kasus perkosaan Mei 1998, baru muncul ke permukaan setelah hampir satu bulan dari sejak kejadian (pertengahan juni 1998). Tidak heran bahwa plan B ditargetkan untuk memecah kekuatan dan opini masyarakat dengan sengaja memberi bumbu rasial didalamnya. Masyarakat terkejut luar biasa, dan media serta merta mengalihkan perhatian dari topik ‘siapa dalang kerusuhan’ menjadi ‘siapa korban dan pelaku pemerkosaan’. Si dalang tahu betul bahwa isu rasial sangat potensial untuk memecah belah masyarakat. Awan hitam
4. Sikap pemerintah
Pertama kali issue perkosaan massal merebak, pemerintah langsung menyangkal dengan mengatakan tidak adanya laporan legal yang masuk ke polisi atau instansi pemerintahan. Namun setelah melakukan temu dan dengar pendapat dengan pihak tim relawan dan organisasi2 kemanusiaan akhirnya pada tgl 15 July pemerintah waktu itu ( Habibie ) mengakui bahwa perkosaan tersebut memang terjadi dan menyatakan penyesalan yang mendalam. Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam hal ini presiden waktu itu (Habibie) meminta dibentuk tim TGPF ( Tim Gabungan Pencari Fakta) untuk menyelidikinya secara tuntas. Aneh dan plin plannya sikap pemerintah diwakili dengan ketika presiden sudah menyatakan “ iya “, justru beberapa anggota TGPF, polisi dan militer mengambil sikap menyangkal bahwa perkosaan itu benar2 terjadi, dengan menuduh para tim relawan mengarang cerita tidak benar karena tidak ada satupun data korban yang bisa dibuktikan secara legal. Akhirnya TGPF mengkonfirmasi 66 kasus perkosaan namun tidak mampu mengidentifikasi motif perkosaan, entah spontan atau sistematik, bersifat kriminal, rasial atau politikal. Tidak ada satupun pihak yang diminta pertanggungjawabannya.
5. Cerita Vivian di internet BUKAN bertujuan untuk menyudutkan agama tertentu.
Berikut adalah testimoni yang tertulis. Saya secara pribadi menghargai ‘kenalan’ korban yang begitu berani menuliskannya di internet. Saya tahu hal ini juga sangat berarti buat para korban perkosaan Mei 1998, yaitu sebagai bentuk kepedulian mewakili suara mereka yang tidak sanggup bercerita dan mengenang kejadian pahit tersebut. Juga tidak lain untuk meminta perhatian publik karena sepertinya tidak banyak yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada hari naas itu. Sama seperti Vivian, saya juga percaya bahwa semua agama itu baik termasuk agama Islam yang mengajarkan hal2 terpuji dan manusiawi. Menurut saya apabila ada yg disudutkan dalam cerita Vivian adalah karakter buruk dari manusianya secara individual, bukan secara global agama yang dianutnya.
Jadi setelah membaca cerita ini, coba tanya hati nurani kalian dan biarkan kebenaran dan ketidak benaran merekah spontan.
Nama pengirim : Vivian (samaran)
Umur : 18 tahun
Kelamin : Perempuan
Hai para netter, kemarin saya mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan salah seorang saudara dari teman saya, yang menjadi salah satu korban kerusuhan 14 Mei lalu. Ia tinggal di salah satu apartemen Pluit. Dia memiliki seorang adik perempuan dan seorang adik laki-laki. Dia tinggal sekeluarga di apartemen ini.
Sekitar pukul 9.15 pagi hari sekeliling apartemen sudah dikerumuni ratusan orang
masuk, lalu kami cepat-cepat masuk dan kemudian mengunci pintu. Saat itu kami mendengar pintu kamar lain diketuk dengan keras dan terdengar banyak teriakan dari ibu-ibu dan anak2 gadis. Sementara kami merasakan amat mencekam di dalam kamar, lalu sadar bahwa kamar kami nantinya akan mendapat giliran, maka kami langsung berpencar dan sembunyi di sudut2 kamar. Dari dalam kami mendengar sayup-sayup anak2 gadis sekitar umur 10 sampai 12 tahun yang berteriak, "mami....mami......", "mami.....sakit.....mami..........". Saat itu saya tidak tahu apa yang terjadi.
Setelah hampir setengah jam kami menunggu, keadaan mulai reda, dan suara mulai tidak terdengar, kami memberanikan diri untuk melihat. Dan setelah kami keluar, ternyata apa yang kami liat adalah ....tidak dapat disebutkan...... Kami melihat banyak orang bergelepakan di lantai, banyak anak anak kecil dan anak2 gadis yang ikut bergelepakan... Ya Tuhan....apa yang terjadi...., adik saya perempuan (Veny) berteriak-teriak histeris melihat itu semua, dan dia langsung memeluk papa saya. Melihat itu sayapun menangis..... Akhirnya, kami bersama dengan kenalan kami, dia suami istri baru menikah turun lewat tangga. Sampai di lantai 10, terdengar ada beberapa teriakan minta tolong..Karena teriakan itu jelas terdengar, kami tergerak untuk masuk ke lantai itu..Tapi saat belok dari persimpangan, kami terkejut karena banyak sekali orang-orang. Dan saya sempat melihat dengan mata kepala sendiri ada seorang gadis yang umurnya sekitar 20 tahunan sedang diperkosa oleh 4 orang..dia berusaha berontak tapi dipegangi. Melihat itu kami langsung lari sekuat-kuatnya....
Tapi
dari mereka menampar saya, kemudian papa saya yang juga berteriak dipukul dengan balok sampai pingsan, mama saya sudah keburu pingsan sejak melihat Veny ditarik oleh mereka.
Saat itu, saya hanya berdoa pada Tuhan, Tuhan jangan sampai malapetaka itu menimpa kami.... Om Dodi, yang saat itu terus membujuk mereka agar mau meninggalkan kami dengan imbalan uang tetap tidak berhasil. Dan.....akhirnya Veny diperkosa secara paksa oleh mereka. Saya yang tidak tahan melihat hal itu apalagi mendengar teriakan pilu Veny, langsung menangis dan menutup mata rapat2...Mereka yang memperkosa Veny kira2 ada 5 orang, dan setiap orang selalu memulainya dengan teriakan "Allahu akbar".... Mereka sadis....mereka kejam............tampang mereka sangat bringas..... Tidak berapa lama ada sekitar 9 orang lagi masuk ke kamar itu, dan menarik saya dan saya sempat melihat tante Vera juga ditarik secara paksa. Saat itu saya langsung pingsan.....dan tidak tahu apa yang terjadi....
Saya terbangun kembali kira2 sore hari sekitar jam 5/6 sore, kepala saya pusing dan saya baru sadar bahwa tubuh saya ternyata tidak mengenakan baju lagi, dan saat itu saya menangis, saya merasa amat kecewa, saya ingat bahwa anggota keluarga saya masih di situ,,, dan saya melihat dengan samar-samar papa memeluk mama saya dan Doni. Om Dodi saya lihat tergeletak di lantai, sedangkan tante Vera menangis di atas tubuhnya. Saya tidak kuat bangun...... Saya akhirnya lemas dan tertidur kembali.
Keesokan harinya saya telah ada di rumah sakit pluit. disamping saya ada mama dan papa. dengan masih merasa sakit di seluruh tubuh saya, saya bertanya, "ma...kenapa Vinny ma......?" Tapi saya merasakan sakit sekali sewaktu mengucapkan kata2 itu. Pipi saya rasanya bengkak. Mama saya langsung menangis dan tidak dapat berbicara. Sementara papa tersenyum sambil menahan tangisan.
Setelah kurang lebih 4 hari saya dirawat, keadaan saya mulai pulih. Dan papa menceritakan kepada saya apa yang telah terjadi dengan pandangan yang pilu..... Saat saya pingsan itu, saya telah diperkosa oleh sekitar 7 orang, saat itu papa saya masih tidak bisa melihat dengan jelas, karena ia masih pusing akibat dipukul dengan balok. Mereka memperkosa saya dengan membalik-balikkan tubuh saya dan membenturkannya ke tembok. Dan, setelah itu papa bilang...."Vin, Veny udah jalan......". Saat itu saya bingung dan tidak tahu mengapa saya langsung menangis, dan mungkin tangisan itu terdengar sampai keluar kamar... "Kenapa pa?????"", papa tidak menjawab....papa langsung menyuruh saya istirahat dan ia langsung keluar kamar. Saat itu saya menangis terus-terusan seakan hidup ini sudah tidak berarti lagi.
Setelah semuanya itu berakhir dan seminggu yang lalu saya pulang dari rumah sakit ke rumah saudara saya, saya baru diceritakan apa yang terjadi. Ternyata, saat Veny diperkosa, Veny berusaha terus melawan, oleh sebab itu ia berkali-kali ditampar oleh orang2 biadab itu, dan terakhir kali Veny melawan, ia meludahi salah seorang dari mereka. Merasa tidak senang, ia mengambil pisau (tidak tahu pisau apa) dan langsung melayangkan pisaunya itu ke perut Veny, dan secara biadab seperti binatang ia berkali-kali mengibaskan pisaunya ke perut Veny, sampai akhirnya Veny menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan darah mengalir di sekujur tubuhnya.
Saat mendengar itu, saya langsung shock, dan papa bercerita lagi bahwa Om Dodipun mengalami hal yang sama, yang akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir di saksikan tante Vera yang juga menjadi korban perkosaan.
Tuhan......mengapa ini semua mesti terjadi??? Saat ini tante Vera ditemani oleh kakaknya tinggal di rumah orang tuanya, dan menurut kabar dari kakaknya, sampai hari ini dia masih shock dan sering melamun sendiri, Bahkan seringkali tidak mau diajak makan. Dan, mama saya juga pasrah. Saya dan mama sampai saat ini, hampir tiap jam menangisi kejadian tersebut, dan saya tidak bisa lupa akan kejadian hari itu. Bagaimanapun juga mereka adalah manusia biadab yang tidak berkeprimanusiaan.
Saudara2 para netter, saat ia menceritakan kejadian ini, banyak yang tidak dapat diungkapkannya melalui kata2, dan sepanjang bercerita, airmatanya selalu mengalir tak tertahan. Dan mendengar cerita yang serupa dari beberapa teman saya yang lain, yang hampir selalu sama adalah teriakan "Allahu akbar" yang diucapkan oleh para penjahat itu. Apakah mereka menganggap perbuatan mereka itu jihad?
Hai para alim ulama, Agama Anda adalah agama mayoritas, tetapi orang2 yang baik dan memiliki cinta kasih terhadap sesama dalam agama Anda adalah minoritas. Bagaimana dengan Kristen, Budha dan Hindu, yang agamanya merupakan agama minoritas, tapi umat2 yang baik dan memiliki cinta kasih dalam agama itu adalah mayoritas. Sebagai saran saja bagi anda para ulama Muslim, kami menghormati agama anda sama dengan kami menghormati agama kami sendiri, agama anda adalah agama yang baik, tetapi para pengajarnyalah yang tidak mengajarkan cinta kasih, dengar saja di radio, FM 98,5 atau 95,4 kalau saya tidak salah. Di situ terdapat siaran langsung khotbah pengajian dari sebuah mesjid di jakarta, Anda tahu, yang diajarkan oleh para pembicara di situ adalah, bahwa umat Islam harus bangkit, balas dendam, memusuhi Kristen, Memusuhi Cina, melawan Pemerintah.
Hai, engkau para ulama yang munafik, kalo Anda tetap tidak mengajarkan saling mengasihi dan saling mencintai dengan kasih antar sesama umat yang seagama maupun yang beragama lain, maka saya yakin agama Anda tetap jadi Mayoritas tetapi dengan kualitas umat yang semakin bobrok dan dengan umat yang semakin beringas.
INGATLAH! Anda yang mengajarkan, Andalah yang akan mendapatkan hukuman tertinggi dari Tuhan. Semoga Anda bertobat!
6. Photo2 kekejaman perkosaan Mei 1998 di internet, sebentuk solidaritas yang kurang bijaksana.
Pernah lihat photo2 yang dimaksud ? Terus terang memang photo2 ini akan membuat semua jiwa bergetar bila melihatnya. Saya sendiri langsung terbawa emosi waktu pertama kali melihat photo2 ini beberapa tahun lalu.
Internet adalah dunia tanpa batas dan tanpa filter. ketika foto2 yang disebut sebagai photo kekejaman perkosaan Mei 1998 ini muncul di dunia maya, maka semua orang kembali terkejut dan bereaksi keras. Telah dikonfirmasi oleh ETISC ( The East Timor International Support Centre) bahwa photo2 penganiayaan dan kekerasan yang tersebar luas di internet dan beberapa photo yang dicetak di koran, berasal dari website milik mereka yaitu Timor Today yang pada kenyataannya memang menggambarkan penganiayaan pihak sipil oleh pihak tentara Indonesia pada periode akhir tahun 1997.
Jadi yang perlu dipahami oleh seluruh rakyat
Namun fiktifnya photo2 ini tidak mewakili fakta perkosaan Mei 1998., karena perkosaan Mei 98 diwakili oleh pengakuan para korban dan itu benar2 terjadi.
Jadi entah siapa dan dibelahan dunia mana si pembuat foto2 ini berada, seharusnya dia sadar bahwa rasa solidaritas yang disumbangkannya kepada seluruh WNI keturunan di